Nabi Muhammad SAW telah memberi tahu pada kita tentang
pilar agama Islam yang mulia ini. Beliau bersabda
yang artinya, “Islam ini dibangun
di atas lima perkara :
- Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
- Mendirikan sholat,
- Menunaikan zakat,
- Pergi haji ke baitullah, dan
- Berpuasa pada bulan Romadhon.” (HR. Bukhari Muslim)
Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril
yang bertanya kepada beliau, “Wahai
Muhammad! Beri tahukan kepadaku tentang Islam ?” Kemudian beliau menjawab,
“Islam adalah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian Engkau mendirikan
sholat, kemudian Engkau menunaikan zakat, kemudian Engkau berpuasa pada bulan
Ramadhon, kemudian Engkau menunaikan haji jika mampu.”
Kemudian ketika beliau
kembali ditanya oleh malaikat Jibril, “Wahai Muhammad! Beri tahukan kepada ku
tentang Iman ?” Kemudian beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau beriman pada takdir
Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim).
Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada
umatnya tentang Islam, apa itu Islam yang seharusnya kita jalankan? Dan
bagaimana seorang menjalankan Islam? Dalam hadits tersebut dapat kita ambil
kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah sedangkan Iman
adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati. Sehingga jika digabungkan
istilah Iman dan Islam maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam yaitu
mengerjakan amalan-amalan lahir yang dilandasi keimanan.
Jika ada orang yang mengerjakan amalan-amalan Islam
namun perbuatan tersebut tidak dilandasi dengan keimanan, maka inilah yang
disebut dengan munafik. Sedangkan jika ada orang yang mengaku beriman namun ia
tidak mengamalkan perintah Allah dan Rasulnya maka inilah yang disebut dengan
orang yang durhaka.
Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa
agama Islam ini dibangun di atas lima pilar:
- Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
- Menegakkan sholat.
- Menunaikan zakat.
- Berpuasa pada bulan Romadhon.
- Pergi haji ke tanah suci jika mampu.
Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang
merupakan pilar utama tegaknya agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan
kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan janji Allah subhanahu wa ta’ala
berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.
Makna Islam
Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua
pengertian yang dapat kita ambil. Pengertian islam yang pertama adalah Islam
secara umum yang memiliki makna: Berserah
diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah dengan
menjalankan ketaatan kepadanya dan berlepas diri dari perbuatan menyekutukan
Allah (syirik)
dan berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik).
Islam dengan makna yang umum ini adalah agama seluruh Nabi Rosul semenjak nabi
Adam ‘alaihi salam.
Sehingga jika ditanyakan, apa agama nabi Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul
lainnya? Maka jawabannya bahwa agama mereka adalah Islam dengan makna Islam
secara umum sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Demikian juga agama para
pengikut Nabi dan Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam dengan
pengertian di atas, pengikut para Nabi dan Rasul terdahulu berserah diri pada
Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan mengerjakan amal
ketaatan sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi dan Rasul yang mereka
ikuti serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik.
Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama pengikut nabi Musa pada zaman
beliau adalah Islam, agama pengikut nabi Isa pada zaman beliau adalah Islam dan
demikian pula agama pengikut nabi Muhammad pada zaman ini adalah Islam. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً
وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukan seorang
Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang
lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
Allah juga berfirman,
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ
“Dia (Allah) telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)
Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam
secara khusus yaitu : Agama
Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
mencakup di dalamnya syariat dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah makna Islam
secara mutlak, artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa embel-embel
macam-macam, maka yang dimaksud dengan “Agama Islam” tersebut adalah agama
Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-orang yang masih
mengikuti ajaran nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah diutusnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang muslim yang
beragama Islam. Di samping itu, ada pengertian Islam secara bahasa yaitu “yang
berarti berserah diri.”
Pilar Islam Pertama : Dua Kalimat Syahadat
Inilah
pilar Islam yang pertama dan utama yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. Tanpa adanya pilar ini, maka tidak ada bangunan
Islam dari diri seseorang. Demikian pula jika pilar ini hancur, maka akan ikut
hancur pula bangunan Islam dari diri seseorang. Oleh karena itu sudah
seharusnya seorang muslim memperhatikan dan senantiasa memelihara hal yang satu
ini dalam seluruh waktu dan kehidupannya.
Persaksian
bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa
ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah tidak cukup hanya
sekedar di lisan saja, namun lebih dari itu, seorang yang bersaksi haruslah
mengetahui dan meyakini hal yang dia saksikan serta mengamalkan konsekuensi kesaksiannya
tersebut. Jika ada seorang saksi yang berbicara dengan lisannya bahwa dia telah
melihat sesuatu namun ternyata hal tersebut tidaklah benar alias dia hanya
berbohong maka saksi seperti ini disebut saksi palsu. Demikian juga, jika ada
orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat dengan lisannya, namun ternyata
hatinya tidak meyakininya, maka orang ini adalah seorang pendusta. Allah
subhanahu wa ta’ala menyebutnya sebagai orang munafik ketika mereka mengatakan
bahwa mereka bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, namun Allah
mendustakan persaksian palsu mereka yang tidak muncul keyakinan tersebut. Allah
berfirman :
إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا
نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ
وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
“Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiquun: 1)
Kalimat
yang pertama dari dua kalimat syahadat ini, yaitu kalimat Laa Ilaha
Illallah bukanlah
kalimat yang ringan dan sepele. Ada makna yang sangat dalam dan konsekuensi
yang sangat besar di balik kedua kalimat ini. Bahkan Allah pun menjadi saksi
kalimat Laa Ilaha
Illallah ini. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ
هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ لاَ إِلَـهَ
إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah
menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian
itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Kalimat Laa Ilaha
Ilallah, sebagaimana penjelasan para ulama, memiliki makna :
لَا مَعْبُوْدَ حَقٌ إِلَا اللهُ
“Tidak
ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ
وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ
الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Yang
demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil,
dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”(QS. Al Hajj: 62)
Dari
makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala
yang disembah oleh manusia seperti kuburan, pohon, para Nabi, malaikat, orang
shalih dan lain sebagainya. Namun sesembahan tersebut pada hakikatnya tidak
berhak sama sekali untuk disembah dan diibadahi karena yang berhak disembah dan
diibadahi hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala.
فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي
يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ مِن شَيْءٍ لِّمَّا جَاء أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا
زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“Karena
itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka
seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu
tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud: 101)
Dalam
ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik memiliki sesembahan
selain Allah. Namun sesembahan itu sama sekali tidak dapat memberikan manfaat
pada mereka ketika datang azab Allah.
Oleh
karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan sekali ketika kita
melihat ada seorang
muslim yang sudah mengucapkan kedua kalimat syahadat, namun dia masih melakukan
berbagai macam bentuk peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala baik
itu kepada orang shalih, kuburan, jin penunggu dan lain sebagainya. Di antara
penyebab terjadinya hal ini adalah ketidaktahuan terhadap agama Islam yang
menimpa banyak kaum muslimin di zaman ini. Terlebih lagi tidak tahu terhadap tauhid yang merupakan inti dari agama Islam.
Dalam kalimat لا
اله إلا الله terkandung
dua aspek yang sangat penting. Yang pertama yaitu aspek
peniadaan/negasi, hal ini tercermin pada kata-kata لا اله (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah) yang berarti
meniadakan dan segala macam bentuk peribadatan pada selain Allah, apapun
bentuknya. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilahAn Nafyu (النفي). Sedangkan aspek yang kedua yaitu aspek penetapan, hal ini
tercermin pada kata-kata إلا الله (kecuali Allah) yang
berarti menetapkan bahwa seluruh macam bentuk peribadatan hanyalah untuk Allah
semata. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah Al Itsbat (الإثبات).
Kedua
aspek ini sangatlah penting untuk dipahami dengan benar oleh seorang muslim
yang ingin merealisasikan dua kalimat syahadat ini. Karena, jika seorang muslim
salah dalam memahaminya, maka ia akan salah pula dalam merealisasikannya.
Contohnya bisa kita lihat pada orang-orang yang sekarang disebut dengan JIL
(Jaringan Islam Liberal), sebagian mereka (baca: Nurcholis Madjid jazaahullahu
bimaa yastahiq) menafsirkan dan memaknai kalimat Tauhid dengan
makna “tidak ada
tuhan (dengan t kecil) kecuali Tuhan (dengan T besar)”. Dengan
tafsiran yang salah ini, mereka menyamakan seluruh Tuhan yang ada yang disembah
manusia. Ujung kesimpulan mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan seluruh agama
adalah satu hanya berbeda-beda dalam penyebutannya. Semoga Allah membinasakan
orang-orang seperti ini dan menjauhkan kaum muslimin dari pemikiran seperti
ini.
Kedua
aspek ini pulalah yang telah dipahami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi
salam Imam
orang-orang yang bertauhid, bapaknya para Nabi dan Rasul. Allah berfirman
ketika menceritakan perkataan Ibrahim ‘alaihi salam,
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاء مِّمَّا تَعْبُدُونَ
إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً
فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan
ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku
berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang
menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan
lbrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya
supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf: 26-28)
Nabi
Ibrahim ‘alaihi
salam, menafikan seluruh sesembahan yang disembah oleh kaumnya
dengan mengatakan bahwa beliau berlepas diri dari hal tersebut. Kemudian beliau
menetapkan bahwa peribadatan beliau hanyalah kepada Tuhan yang telah
menciptakan beliau yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian beliau menjadikan
kalimat لا اله إلا الله tersebut kekal untuk keturunannya.
Kemudian
bagian kedua dari dua kalimat syahadat ini yaitu persaksian bahwa Muhammad
adalah utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa telah ada
seorang Rasul di antara manusia ini yang Allah utus, dan dialah Nabi kita,
teladan kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
لَقَدْ
جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Allah
subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا
مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jumuah: 2)
Makna
kalimat kedua ini adalah yang meyakini bahwa Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam diberi
wahyu oleh Allah dan meyakini beliau adalah benar-benar utusan Allah, serta
beliau adalah penutup para Nabi (Syarah Arba’in An
Nawawiyah Syaikh
Shalih Alu Syaikh: hadits kedua). Oleh karena itu, barang siapa yang
berkeyakinan bahwa beliau tidaklah diberi wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala
maka persaksiannya tidaklah sah. Hal ini banyak kita saksikan di zaman
sekarang, ada orang-orang yang meragukan agama Islam. Mereka mengatakan bahwa
Al Quran dan Hadits hanyalah konsep yang disusun oleh Muhammad dan bukan wahyu
yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang kemudian konsep tersebut
dijalankan oleh para sahabatnya, wal’iyadzubillah.
Barang
siapa yang meyakini bahwa beliau tidaklah diutus untuk menyampaikan sesuatu
yang telah diperintahkan kepada beliau, maka persaksiannya tidaklah sah.
Demikian juga barang siapa yang menganggap adanya Rasul dan utusan Allah
setelah Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka persaksiannya tersebut tidaklah sah. Sebagaimana diklaim oleh sebagian
orang yang mengatakan bahwa ada di antara kelompoknya yang menjadi Nabi seperti
Mirza Ghulam Ahmad (jazaahullahu bimaa yastahiq)
atau Nabi-nabi kelas lokal seperti Lia Aminuddin (kafaanallahu
‘an syarrihaa) dan lain sebagainya.
Persaksian
bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah memiliki konsekuensi yaitu taat
terhadap perintah beliau, membenarkan berita yang beliau bawa, dan menjauhi
seluruh larangan beliau dan kita beribadah kepada Allah hanya dengan syariat
yang beliau bawa. Syaikh Nu’man bin Abdul Kariim Al Watr berkata dalam Taisir
Wushul, “Taat dengan perintah beliau yaitu menaati Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau memerintahkan kita. Karena taat
pada beliau adalah taat pada Allah dan karena perkataan beliau tidak berasal
dari hawa nafsu dan Rasulullah hanya memerintahkan kita dengan hal-hal yang
bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Membenarkan berita yang beliau bawa
karena beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan dan karena perkataan beliau
tidak berasal dari hawa nafsu dan merupakan konsekuensi beriman bahwa beliau
adalah benar-benar Rasulullah adalah membenarkan perkataan beliau. Menjauhi
seluruh larangan beliau karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu
dan beliau hanya melarang kita dari hal yang tidak bermanfaat bagi dunia dan
agama kita. Beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa karena
orang yang beribadah pada Allah dengan syariat selain beliau maka dia telah
melakukan bid’ah. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang
siapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka
amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)” (Taisir
Wushul hal: 73).