Segala puji bagi Allah,
Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Kita telah mengetahui bersama bahwa di antara syarat sah shalat
diharuskan untuk berwudhu terlebih dahulu. Untuk berwudhu tentu saja memerlukan
air. Lalu air seperti saja yang boleh digunakan untuk berwudhu? Itulah yang
akan di angkat dalam pembahasan kali ini. Semoga bermanfaat.
Ada
Dua Macam Air
Perlu diketahui bahwa air itu ada dua macam yaitu air muthlaq dan air najis.
Pertama:
Air Muthlaq
Air muthlaq ini biasa disebut pula air thohur (suci dan mensucikan).
Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi asalnya. Air ini
adalah setiap air yang keluar dari dalam bumi maupun turun dari langit.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan
Kami turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al Furqon: 48)
Yang juga termasuk air muthlaq adalah air sungai, air salju,
embun, dan air sumur kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama
dibiarkan atau karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air tersebut
tidak disebut lagi air muthlaq.
Begitu pula yang termasuk air muthlaq adalah air laut. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallampernah ditanyakan mengenai air laut, beliau pun
menjawab,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut tersebut thohur (suci lagi
mensucikan), bahkan bangkainya pun halal.” [1]
Air-air inilah yang boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi
tanpa ada perselisihan pendapat antara para ulama.
Bagaimana
jika air muthlaq tercampur benda lain yang suci?
Di sini ada dua rincian, yaitu:
1. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci dan jumlahnya
sedikit, sehingga air tersebut tidak berubah apa-apa dan masih tetap disebut
air (air muthlaq), maka ia boleh digunakan untuk berwudhu. Misalnya, air dalam
bak yang berukuran 300 liter kemasukan sabun yang hanya seukuran 2 mm, maka
tentu saja air tersebut tidak berubah dan boleh digunakan untuk berwudhu.
2. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci sehingga air
tersebut tidak lagi disebut air (air muthlaq), namun ada “embel-embel”
(seperti jika tercampur sabun, disebut air sabun atau tercampur teh, disebut air
teh), maka air seperti ini tidak disebut dengan air muthlaq sehingga
tidak boleh digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi).
Kedua:
Air Najis
Air najis adalah air yang tercampur najis dan berubah salah satu
dari tiga sifat yaitu bau, rasa atau warnanya. Air bisa berubah dari hukum asal
(yaitu suci) apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu berubah warna,
rasa atau baunya.
Dari Abu Umamah Al Bahiliy, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَاءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى
رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
“Sesungguhnya
air tidaklah dinajiskan oleh sesuatu pun selain yang mempengaruhi bau, rasa,
dan warnanya.”
Tambahan “selain yang mempengaruhi bau, rasa,
dan warnanya” adalah
tambahan yang dho’if. Namun, An Nawawi mengatakan, “Para ulama telah sepakat
untuk berhukum dengan tambahan ini.” Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama
telah sepakat bahwa air yang sedikit maupun banyak jika terkena najis dan
berubah rasa, warna dan baunya, maka itu adalah air yang najis.” Ibnul Mulaqqin
mengatakan, “Tiga pengecualian dalam hadits Abu Umamah di atas tambahan yang
dho’if (lemah). Yang menjadi hujah (argumen) pada saat ini adalah ijma’
(kesepakatan kaum muslimin) sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafi’i, Al Baihaqi,
dll.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesuatu yang telah disepakati
oleh kaum muslimin, maka itu pasti terdapat nashnya (dalil tegasnya). Kami
tidak mengetahui terdapat satu masalah yang telah mereka sepakati, namun tidak
ada nashnya.”[2]
Intinya, air jenis kedua ini (air najis) tidak boleh digunakan
untuk berwudhu.[3]
Bolehkah
Air Musta’mal Digunakan untuk Bersuci?
Yang dimaksud air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota
wudhu orang yang berwudhu. Atau gampangnya kita sebut air musta’mal dengan air
bekas wudhu.
Para ulama berselisih pendapat apakah air ini masih disebut air
yang bisa mensucikan (muthohhir) ataukah tidak.
Namun pendapat yang lebih kuat, air musta’mal termasuk air
muthohhir (mensucikan), berarti bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi) selama
ia tidak keluar dari nama air muthlaq atau tidak menjadi najis disebabkan
tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merubah bau, rasa atau warnanya.
Inilah pendapat yang dianut oleh ‘Ali bin Abi Tholib, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah,
sekelompok ulama salaf, pendapat yang masyhur dari Malikiyah, merupakan salah
satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, Ibnul
Mundzir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[4]
Dalil-dalil yang menguatkan pendapat bahwa air musta’mal masih
termasuk air yang suci:
Pertama: Dari Abu Hudzaifah,
beliau berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالْهَاجِرَةِ
، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ
وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di
al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para
sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk
mengusap.”[5]
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami
bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sehingga
ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta’mal adalah air yang
suci.”[6]
Kedua: Dari Miswar, ia
mengatakan,
وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كَادُوا
يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat)
hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau.”[7]
Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas digunakan
kembali untuk bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air musta’mal itu najis,
lantas kenapa digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits-hadits ini
adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap bahwa air musta’mal itu
najis. Bagaimana mungkin air najis digunakan untuk diambil berkahnya?”[8]
Ketiga: Dari Ar Rubayyi’, ia
mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ
فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas
air wudhu yang berada di tangannya.”[9]
Keempat: Dari Jabir, beliau
mengatakan,
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى ،
وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ،
فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjengukku ketika aku
sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu dan bekas wudhunya
beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.”[10]
Kelima: Dari ‘Abdullah bin
‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka
semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.”[11]
Keenam: Dari Ibnu ‘Abbas, ia
menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ
بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari
bekas mandinya Maimunah.”[12]
Ibnul Mundzir mengatakan, “Berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para
ulama, air yang tersisa pada anggota badan orang yang berwudhu dan orang
yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci. Oleh karenanya,
hal ini menunjukkan bahwa air musta’mal adalah air yang suci. Jika air tersebut
adalah air yang suci, maka tidak ada alasan untuk melarang menggunakan air
tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan yang menyelisihinya.”[13]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Begitu pula air
musta’mal yang digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.”[14]
Sedangkan sebagian ulama semacam Imam Asy Syafi’i dalam salah
satu pendapatnya, Imam Malik, Al Auza’i dan Imam Abu Hanifah serta
murid-muridnya berpendapat tidak bolehnya berwudhu dengan air musta’mal.[15] Namun
pendapat yang mereka gunakan kurang tepat karena bertentangan dengan
dalil-dalil yang cukup tegas sebagaimana yang kami kemukakan di atas. Wallahu
a’lam.
Catatan: Ada beberapa hadits
yang melarang menggunakan air bekas bersucinya wanita semisal hadits dari Al
Hakam bin ‘Amr. Beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ
الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang seseorang berwudhu dari air bekar bersucinya wanita.”[16] Agar hadits
ini tidak bertentangan dengan hadits, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah”
atau hadits, “Dulu di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan
bekas wudhu mereka satu sama lain”, maka kita bisa melalui jalan
kompromi. Kita katakan bahwa larangan dalam hadits Al Hakam bin ‘Amr yang
dimaksud adalah larangan tanzih (makruh) dan tidak sampai diharamkan. Jadi
menggunakan air bekas bersucinya wanita dihukumi makruh dan bukan haram. Wallahu
a’lam.[17]
Apakah
Air Kurang dari Dua Qullah Jika Kemasukan Najis Menjadi Najis?
Air dua qullah adalah air seukuran 500 rothl ‘Iraqi yang
seukuran 90 mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah
sama dengan 93,75 sho’[18]. Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg.
Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5 kg;
berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran air
dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air yang
terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1 m x 0,2 m.
Sebagian ulama memiliki pendapat bahwa jika air kurang dari dua
qullah dan kemasukan najis sedikit ataupun banyak, baik airnya berubah atau
tidak, maka air tersebut menjadi najis. Alangkah bagusnya jika kita dapat
melihat pembahasan berikut ini.
[Hadits
Air Dua Qullah]
Adapun hadits mengenai air dua qullah adalah sebagai berikut.
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Jika air telah mencapai dua qullah,
maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad
Daruquthni)
Dalam riwayat lain disebutkan,
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ
“Jika air telah mencapai dua qullah,
maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah”
dan Ad Darimi)[19]
[Jika
Air Lebih Dari Dua Qullah]
Dari hadits dua qullah ini, secara mantuq (tekstual), apabila air telah mencapai
dua qullah maka ia sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika air tersebut
berubah rasa, bau atau warnanya karena najis, maka dia menjadi najis
berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).
Misalnya: air bak kamar mandi (jumlahnya kira-kira 300 liter
–berarti lebih dari dua qullah-) kena percikan air kencing, maka air bak
tersebut tetap dikatakan suci karena air dua qullah sulit dipengaruhi oleh
najis. Namun, jika kencingnya itu banyak sehingga merubah warna air atau
baunya, maka pada saat ini air tersebut najis.
Inilah mantuq (makna
tekstual) dari hadits di atas. Namun secara mafhum dari hadits ini (makna
inplisit yaitu bagaimana jika air tersebut kurang dari dua qullah lalu
kemasukan najis), para ulama berselisih pendapat. Perhatikan penjelasan
selanjutnya.
[Jika
Air Kurang Dari Dua Qullah]
Sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad dan
pengikut mereka menyatakan bahwa jika air kurang dari dua qullah, air tersebut
menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis walaupun tidak berubah rasa,
warna atau baunya.
Jadi menurut pendapat ini, jika air lima liter (ini relatif
sedikit) kemasukan najis (misalnya percikan air kencing), walaupun tidak
berubah rasa, bau atau warnanya; air tersebut tetap dinilai najis. Alasan
mereka adalah berdasarkan mafhum (makna
inplisit) dari hadits dua qullah ini yaitu jika air telah mencapai dua qullah
tidak dipengaruhi najis maka kebalikannya jika air tersebut kurang dari dua
qullah, jadilah najis.
Namun ulama lainnya seperti Imam Malik, ulama Zhohiriyah,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb dan
ulama Najd menyatakan bahwa air tidaklah menjadi najis dengan hanya sekedar
kemasukan najis. Air tersebut bisa menjadi najis apabila berubah salah satu
dari tiga sifat yaitu rasa, warna atau baunya.
Alasan pendapat pertama tadi kurang tepat. Karena ada sebuah
hadits yang menyebutkan,
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
“Sesungguhnya
air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”[20]
Hadits ini secara mantuq (makna
tekstual), air asalnya adalah suci sampai berubah rasa, bau atau warnanya.
Sedangkan pendapat pertama di atas berargumen dengan mafhum (makna inplisit). Padahal para ulama
telah menggariskan suatu kaedah, “Makna mantuq lebih
didahulukan daripada mafhum.” Maksudnya, makna yang dapat kita
simpulkan secara tekstual (mantuq) lebih utama untuk
diamalkan daripada makna yang kita simpulkan secara inplisit (mafhum). Inilah kaedah yang biasa digunakan
oleh para ulama.
Alasan lainnya, hukum itu ada selama terdapat ‘illah (sebab).
Jadi kalau ditemukan sesuatu benda suci berubah rasa, warna dan baunya karena
benda najis, barulah benda suci tersebut menjadi najis. Jika tidak berubah
salah satu dari tiga sifat ini, maka benda suci tersebut tidaklah menjadi
najis. Oleh karena itu, dengan alasan inilah pendapat kedua lebih layak untuk
dipilih dengan kita tetap menghormati pendapat ulama lainnya. Wallahu a’lam
bish showab.[21]
Kesimpulannya: Najis atau tidaknya
air bukanlah dilihat dari ukuran (sudah mencapai dua qullah ataukah belum).
Jika air lebih dari dua qullah kemasukan najis, lalu berubah salah satu dari
tiga sifat tadi, maka air tersebut dihukumi najis. Begitu pula jika air kurang
dari dua qullah. Jika salah satu dari tiga sifat tadi berubah, maka air
tersebut dihukumi najis. Jika tidak demikian, maka tetap dihukumi sebagaimana
asalnya yaitu suci.
Bolehkah
Menggunakan Air Musyammas (Air yang Terkena Terik Matahari)?
Komisi Fatwa di Saudi Arabia, yaitu Al Lajnah Ad Da-imah lil
Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanyakan mengenai hal ini, lalu para ulama
yang duduk dalam komisi tersebut menjawab:
لا نعلم دليلا صحيحا يمنع من استعمال الماء المشمس.
“Kami tidak mengetahui satu dalil
shahih yang melarang menggunakan air musyammas (air yang terkena terik
matahari).”
Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan
Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan selaku anggota, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku
wakil ketua dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua. (Soal keenam dari
Fatwa no. 7757)[22]
Intinya, air musyammas masih
boleh digunakan untuk berwudhu.
Semoga
apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.
Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan berkat nikmat Allah di saat turun berkah hujan di
Pangukan-Sleman, 3 Shofar 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Tirmidzi, Abu
Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Irwa’ul Gholil no. 9.
[2] Dinukil
dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin
Abdirrahman Ali Basam, 1/114, Darul Atsar
[3] Lihat
penjelasan pembagian air ini di kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh
Abu Malik, 1/103-104, Al Maktabah At Taufiqiyah. Pembagian seperti ini juga
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.
[4] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 1/104.
[5] HR.
Bukhari no. 187.
[6] Fathul
Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/295, Darul Ma’rifah, Beirut.
[7] HR.
Bukhari no. 189.
[8] Fathul
Bari, 1/296.
[9] HR.
Abu Daud no. 130. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[10] HR.
Bukhari no. 194.
[11] HR.
Bukhari no. 193.
[12] HR.
Muslim no. 323.
[13] Al
Awsath, Ibnul Mundzir, 1/254, Mawqi’ Jaami’ Al Hadits.
[14] Majmu’
Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20/519, Darul Wafa’.
[15] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 1/106.
[16] HR.
Abu Daud no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[17] Cara
kompromi dalil semacam ini ditempuh oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah -Syaikh Abu
Malik-. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/107, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[18] Lihat Tawdhihul
Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/116, Darul Atsar, cetakan
pertama, 1425 H.
[19] Para
ulama berselisih mengenai keshahihan hadits air dua qullah. Sebagian ulama
menilai bahwa hadits tersebut mudhthorib (termasuk dalam
golongan hadits dho’if/lemah) baik secara sanad maupun matan (isi hadits).
Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Ath Thohawiy, Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy dengan sanad yang shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath Thohawiy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An Nawawiy dan Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mayoritas pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan berhujah dengan hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada orang yang mencela (melemahkan) hadits ini.” (Disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/116)
Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Ath Thohawiy, Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy dengan sanad yang shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath Thohawiy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An Nawawiy dan Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mayoritas pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan berhujah dengan hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada orang yang mencela (melemahkan) hadits ini.” (Disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/116)
[20] HR.
Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh
Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478
[21] Pembahasan
ini disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/118 dan Syarhul
Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/33-34, Dar Ibnil
Haitsam.
[22] Fatwa
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 7/54, Darul Ifta’.