Kata paling tepat adalah SUCI sebagian dari Iman
Pengertian ini
sebenarnya merujuk pada sebuah Hadist Muslim yaitu Dari Abu Malik Al-Harits bin
Ashim Al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, Dia berkata:
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bersuci
adalah separuh dari keimanan, ucapan ‘Alhamdulillah’ akan memenuhi timbangan,
‘subhanalloh walhamdulillah’ akan memenuhi ruangan langit dan bumi, sholat
adalah cahaya, dan sedekah itu merupakan bukti, kesabaran itu merupakan sinar,
dan Al Quran itu merupakan hujjah yang akan membela atau menuntutmu. Setiap
jiwa manusia melakukan amal untuk menjual dirinya, maka sebagian mereka ada
yang membebaskannya (dari siksa Alloh) dan sebagian lain ada yang
menjerumuskannya (dalam siksa-Nya).” (HR Muslim)
Bersuci Adalah Separuh Iman
Ulama berbeda pendapat tentang makna bersuci merupakan separuh iman. Dua
pendapat yang paling masyhur adalah :
- Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman.
- Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah sholat. Jadi bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena merupakan pokok amalan iman.
Pengertian Ghasab
Secara harfiah, ghasab adalah mengambil sesuatu secara paksa dengan
terang-terangan. Sedangkan secara istilah, ulama bermacam-macam
mendefinisikannya.
Mazhab Hanafi mendefinisikan ghasab sebagai mengambil harta orang lain yang
halal tanpa izin sehingga barang itu berpindah tangan.
Mazhab Maliki mendefinisikan ghasab sebagai mengambil harta orang lain
secara paksa dan sengaja, tetapi tidak dalam arti merampok.
Mazhab Syafii dan Hanbali memaknai ghasab sebagai penguasaan terhadap harta
orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak. Secara
“terang-terangan” menunjukkan perbedaan ghasab dengan mencuri.
Mencuri dalam arti ghasab tidak hanya barang tapi juga manfaat barangnya,
termasuk di dalamnya meminta dan meminjam tanpa izin pemilik aslinya, sekalipun
dikembalikan.
Sedangkan dalam fikih Ahlulbait, ghasab tetap dihukumi sebagai dosa plus
perbuatan salatnya sendiri tidak sah. Sedemikian ketatnya hingga jika kita
salat tetapi ada sehelai benang pun yang ada ditubuh kita diperoleh dengan cara
batil, maka salat pun tidak sah. Sayidina Ali as. berkata kepada Kumail, “Wahai
Kumail, lihatlah di mana dan pada apa kamu salat. Jika itu didapatkan bukan
dengan cara yang benar maka tidak diterima salatnya.” (Fiqh Al-Imâm Ja’far).
Pengertian Korupsi
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa korupsi adalah,
“Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb.) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain.” (KBBI Hal. 462).
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa harta yang diselewengkan oleh
seorang pegawai koruptor adakalanya harta milik sekelompok orang tertentu,
seperti perusahaan atau harta serikat dan adakalanya harta milik semua orang,
yaitu harta rakyat atau harta milik negara.
Dalam tinjaun fikih, seorang pegawai sebuah perusahaan atau pegawai
instansi pemerintahan, ketika dipilih untuk mengemban sebuah tugas,
sesungguhnya dia diberi amanah untuk menjalankan tugas yang telah dibebankan
oleh pihak pengguna jasanya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Karena beban
amanah ini, dia mendapat imbalan (gaji) atas tugas yang dijalankannya. Ketika
ia menyelewengkan harta yang diamanahkan, dan mempergunakannya bukan untuk
sesuatu yang telah diatur oleh pengguna jasanya, seperti dipakai untuk
kepentingan pribadi atau orang lain dan bukan untuk kemaslahatan yang telah
diatur, berarti dia telah berkhianat terhadap amanah yang diembannya.
Dalam syariat, pengkhianatan terhadap harta negara dikenal dengan ghulul.
Sekalipun dalam terminologi bahasa Arab, ghulul berarti sikap
seorang mujahid yang menggelapkan harta rampasan perang sebelum dibagi. (Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, XXXI/272).
Dalam buku Nadhratun Na’im disebutkan
bahwa di antara hal yang termasukGhulul adalah menggelapkan harta
rakyat umat Islam (harta negara), berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari
Al-Mustaurid bin Musyaddad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang kami angkat sebagai aparatur negara hendaklah dia menikah
(dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak mempunyai pembantu rumah tangga
hendaklah dia mengambil pembantu (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak
memiliki rumah hendaklah dia membeli rumah (dengan biaya tanggungan negara).
(Nadhratun Na`im, XI. Hlm. 5131)
Abu Bakar berkata, “Aku diberitahu bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa (aparat) yang
mengambil harta negara selain untuk hal yang telah dijelaskan sungguh ia telah
berbuat ghulul atau dia telah mencuri”. (HR. Abu Daud. Hadis ini dinyatakan
shahih oleh Al-Albani).
Ibnu Hajar Al Haitami (wafat: 974 H) berkata,
“Sebagian para ulama berpendapat bahwa menggelapkan harta milik umat Islam yang
berasal dari (kas negara) dan zakat termasuk ghulul“. (Az Zawajir an Iqtirafil Kabair, jilid II, Hal. 293).
Istilah ghulul untuk korupsi harta
negara juga disetujui oleh komite fatwa kerajaan Arab Saudi, dalam fatwa No.
9450, yang berbunyi, Ghulul yaitu: mengambil sesuatu dari harta rampasan perang
sebelum dibagi oleh pimpinan perang dan termasuk juga ghulul harta yang diambil
dari baitul maal (uang negara) dengan cara berkhianat (korupsi)”. (Fataawa
Lajnah Daimah, jilid XII, Hal 36.).
Ini juga hasil tarjih Dr. Hanan Malikah dalam pembahasan takyiif fiqhiy
(kajian fikih untuk menentukan bentuk kasus) tentang korupsi. (Jaraimul
Fasad fil Fiqhil Islami, Hal. 99)
Pengertian Mencuri
Pencurian adalah mengambil hak orang lain yang bukan miliknya secara
diam-diam tanpa paksaan dan tidak di ketahui oleh pemiliknya. Adapun pengertian
lain pencurian adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam yang di ambil
berupa harta, harta yang di ambil merupakan milik orang lain dan ada itikat
tidak baik. Sedangkan orang yang biasa melakukan pencurian adalah pencuri,
Pencuri adalah orang yang mengambil harta atau benda orang lain dengan jalan
diam – diam dan diambil dari tempat penyimpanannya.
Pencurian menurut Muhamad Syaltut adalah
mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang
yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut. Menurut beliau selanjutnya,
definisi tersebut secara jelas mengeluarkan perbuatan menggelapkan harta orang
lain yang dipercayakan kepadanya (ikhtilas) dari kategori pencurian. Oleh
karena itu, penggelapan harta orang lain tidak dianggap sebagai jarimah
pencurian dan tentu tidak dihukum dengan hukuman potong tangan, namun dalam
bentuk hukuman lain. Di samping itu, definisi di atas mengeluarkan pengambilan
harta orang lain dengan terang-terangan dan kategori pencurian, seperti
pencopetan yang mengambil barang secara terang-terangan dan membawanya lari.
Begitulah kesepakatan fuqaha.
H.A. Djazuli membedakan antara pencurian
dengan penggelapan sebagai berikut :
Pertama, dilihat dari segi hukuman.
Pencurian dikenai hukuman had potong tangan, sedangkan penggelapan dikenai
hukuman ta’zir dan hal ini tentu menjadi wewenang hakim dalam penjatuhan
hukuman tersebut.
Kedua, dilihat dengan dari segi
pelaksanaan pengambilan harta tersebut. Pada pencurian, pengambilan dilakukan
secara sembunyi-sembunyi, dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sedangkan pada
kasus penggelapan dilakukan dengan terang-terangan. Dalam hal ini si pemilik
mengira harta tersebut masih ada dan dijaga oleh orang yang dipercayainya. Oleh
karena itu, kalau penjaganya, mengambilnya, dianggap telah berbuat
terang-terangan.
Ketiga, dilihat dari segi objek harta
tersebut. Dalam pencurian, harta yang diambil tersimpan pada tempat tertentu
yang memeng sengaja disimpan pemiliknya. Sedangkan penggelapan, penyimpanan
harta tersebut tidak diketahui pemiliknya dan hanya diketahui oleh yang
dipercayai, sedangkan pemilik hanya mengetahui bahwa harta itu ada. Oleh karena
itu, persyaratan tempat pada kasus penggelapan tidak disyaratkan.
Keempat, dilihat dari ukuran harta. Pada
pencurian dikenal ukuran-ukuran tertentu yang mengakibatkan jatuhnya hukuman
had atau yang dikenal dengan teram nishab. Adapun pada kasus penggelapan
dikenal ukuran-ukuran tertentu sejauh mana penggelapan tersebut harus dikenal
hukuman.
Harta Haram untuk Beribadah
عبده ور سو له افضل الخلق اجمعين اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا
محمد وعلى اله واصحا به ومن تبعه الى يوم الدين اما بعد : فيا ايهاالحاضرون
الكرام اوصيكم ونفسى بتوى الله وافعلوا الخير لعلكم تفلحون
Marilah kita selalu berusaha dan
berupaya untuk meningkatkan kualitas iman dan kualitas takwa kita kepada
Allah SWT yaitu dengan melaksanakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya
tanpa reserve atau tanpa syarat.
Dalam hukum Islam ada tiga jenis barang,
yaitu halal, haram dan syubhat (tidak jelas halal dan haramnya).
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sudah mengajarkannya dalam sebuah hadits :
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ
بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ إِنَّ الْحَلَالَ
بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا
يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ
لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
Dari An-Nu’man bin
Basyir dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda -Nu’man sambil menunjukkan dengan dua jarinya kearah
telinganya-: ‘Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah
nyat (jelas). Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak
diketahui kebanyakan orang, maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan
perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa
yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman’.” (HR. Bukhari, Muslim).
Halal itu jelas syaratnya ada dua, yaitu: Pertama :
adalah apa-apa yang baik, tidak dilarang syariat dan kedua : adalah diperoleh
dengan cara yang haq pula. Ke-dua syarat ini harus terpenuhi kedua-duanya.
Haram itu jelas, syaratnya ada dua, yaitu: adalah apa-apa yang
diharamkan oleh syariat dan kedua : adalah apa-apa yang diperoleh tidak dengan
cara yang haq. Dua syarat ini, jika terpenuhi salah satu saja, sudah cukup
untuk membuat sesuatu itu menjadi haram.
Ketika dihadapkan
kepada daging babi, biasanya seorang muslim dengan mudah menolaknya, dengan
alasan haram. Sesuai dengan syarat keharaman yang pertama, yaitu apa-apa yang
diharamkan oleh syariat.
Tetapi ketika
disodorkan uang, barang atau makanan semisal buah mangga, sebagian kaum
muslimin ‘lupa’ untuk menimbang apakah ini halal atau haram. Hukum asal mangga
adalah halal, tapi bisa menjadi haram dimakan jika diperoleh dengan cara yang
batil, seperti hasil curian atau hasil korupsi atau sogokan kepada pejabat dan
dari kegiatan hasil ekonomi ribawai.
Allah menegaskan
larangan ini di dalam Quran :
…وَلَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil …” (QS.
Al-Baqarah [2] : 188).
Jadi kesimpulan tentang
haramnya sesuatu, pertama: apabila wujud/asalnya benda itu memang haram
(seperti daging babi). Kedua: (atau) apabila cara mendapatkannya bathil,
meskipun wujud/asalnya halal (seperti uang dan barang hasil sogokan).
Lain ceritanya jika itu
dalam keadaan darurat, maka diperbolehkan seperlunya sampai keadaan daruratnya
hilang. Syarat keadaan darurat pun tidak sembarangan, misalnya ketika nyawa
terancam. Hal ini dijelaskan oleh Allah di dalam surah Al Baqarah ayat 173, bahwa
situasinya terpaksa, dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas.
Sehingga ulama merumuskan kaidah fiqih, keadaan darurat membolehkan yang
haram/dilarang. Pembahasan darurat ini bab tersendiri, tapi mudah-mudahan
cukuplah firman Allah di atas menjelaskan buat kita.
Jika halal dan haram
itu jelas, maka syubhat adalah hal yang tidak jelas, hal yang meragukan. Berada di tengah-tengah antara
halal dan haram. Gawatnya hal seperti ini tidak sedikit kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Bagaimana sikap seorang muslim terhadap barang syubhat
ini?
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menegaskan bahwa menikmati syubhat
berarti jatuh kepada yang haram. Menjaga diri dari syubhat, berarti
menjaga agama dan harga diri. Terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka terjatuh
kepada keharaman. Sengaja menerima uang tak jelas (atau pura-pura tidak tahu),
berarti menerima uang haram. Jika ada manusia menerima dan menikmati uang tak
jelas dengan argumen bahwa toh itu tidak haram (secara jelas), maka sama saja
dengan menegaskan bahwa dia makan uang haram.
Di dalam hadits lain
yang diriwayatkan dari cucu kesayangan beliau Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhuma, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan
bagaimana cara menghadapi hal-hal yang meragukan ini.
Kiat nabi saw amat sederhana: “tinggalkanlah.”
دَعْ مَا يَرِيبُكَ
إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang
meragukan kamu dan lakukan apa yang tidak meragukan kamu.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata hadits
hasan shahih).
Setelah jelas bagi kita
bahwa perkara syubhat atau meragukan itu jatuh ke jurang keharaman dan jelas
pula kiat menghadapi hal itu, sekarang kita bahas apa akibatnya jika nekat
tetap menikmati hal-hal yang haram itu.
Ada pertanyaan,
bagaimana kalau uang haram atau syubhat itu digunakan untuk amal shalih? mulai
dari berzakat atau sedekah, mendirikan masjid, naik haji atau mendanai kegiatan
dakwah? Di zaman ini, tidak aneh ada orang korupsi atau merampok tapi dia rajin
sedekah, menyumbang masjid, mensponsori kegiatan dakwah atau naik haji dan
umroh berkali-kali. Akankah diterima Allah amalnya? Akankah menjadi penghapus
atau pengurang dosanya?
Jika seorang tersangka
koruptor mengatakan, “amal saya diterima atau tidak itu urusan Tuhan, bukan
manusia.”
Argumen (alasan)
seperti ini lazim dilontarkan oleh orang yang sudah biasa menikmati uang haram,
ketika mereka tidak terima dinasehati. Betul, bahwa diterima atau tidaknya amal
seorang manusia adalah hak prerogatif Allah, tapi dengan catatan itu memang
amal yang haq. Misalnya, jika itu sedekah, maka itu sedekah dari uang halal.
Bahkan, sedekah dengan uang halal pun belum tentu diterima Allah, misalnya
kalau dengan niat membanggakan diri (ria) tentu tidak akan menjadi pahala.
Lalu bagaimana dengan
sedekah atau kegiatan dakwah Islam dengan uang haram was- syubhat ? Sekali lagi, diterima atau tidaknya suatu amal
memang urusan Allah semata, tapi Allah melalui perantaraan lisan rasulNya sudah
menegaskan penolakannya terhadap hal seperti ini. Mari kita simak hadits shahih
berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
Dari Abu Hurairah ia
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan
yang baik pula.” (HR.
Muslim).
Artinya sangat jelas
bahwa Allah tidak akan menerima sesuatu dari yang tidak baik, seperti sedekah
dari uang korupsi, kegiatan dakwah dari dana syubhat, dlsb.
Sah kah berhaji dari
uang haram atau syubhat? Ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini.
Sebagian ulama menyatakannya sah selama manasiknya benar tapi dia tetap
berdosa. Imam Ahmad rahimahullah menyatakannya tidak sah (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq).
Di sini, tidak akan
dibahas masalah khilafiyah ini panjang lebar. Mari ambil satu pendapat,
katakanlah hajinya sah, jika dia sudah melakukan semua rukun haji secara baik
dan benar. Tapi apakah akan diterima oleh Allah? Pertanyaan ini, jawabannya
kita kembalikan kepada kegamblangan hadits di atas, yang disepakati shahih dari
nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Allah itu baik dan tidak akan menerima kecuali
yang baik. Dengan kata lain Allah hanya menerima yang baik. Jadi sungguh rugi
repot-repot ke tanah suci padahal sudah ada kepastian ibadah hajinya tidak akan
diterima Allah karena dibiayai dengan uang haram/syubhat. Sudah badan penat,
keluar duit, haji tidak diterima, berdosa pula.
Semoga bermanfaat
terutama untuk pribadi saya sendiri dan semoga bermanfaat bagi pembaca
sekalian. Aamiin allhumma aamiin ...
واذ قرئ القران فاستمعوا
له وانصتوا لعلكم ترحمون
اعوذبالله من الشيطان
الرجيم
وَلَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ – صد ق الله العظيم
با رك الله لي ولكم في القران العظيم ونفعني
واياكم بما فيه من الايات والذكرالحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته انه هوالسميع
العليم اقول قولي هذا واستغفرالله العظيم لي ولكم ولسائرالمسلمين والمسلمات
والمؤ منين والمؤمنات فاستغفروه انه هو الغفورالرحيم
Ya Allah .... Ampunilah kami yang telah menzolimi diri
kami, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Terimalah segala
amal ibadah kami.