BERAKHIRNYA KESULTANAN OTTOMAN ATAU UTSMANI



Para ahli sejarah sepakat, zaman Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Usmaniyah. Pada masa ini, Khilafah Usmaniyah telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik. Namun sayang, setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, khilafah mulai mengalami kemerosotan terus-menerus. Banyak analisa menyebut, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Usmaniyah. 
  1. Pertama, buruknya pemahaman Islam. 
  2. Kedua, kesalahan dalam menerapkan Islam. 
Pada masa ini, terjadi banyak penyimpangan dalam pengangkatan khalifah, yang justru tak tersentuh oleh undang-undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan. Kelemahan Khilafah Usmaniyah pada abad ke-17 M itu dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 ), wilayah Hungaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. Bahkan, Khilafah Usmaniyah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dari Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 Masehi. 


Nasib Khilafah Usmaniyah semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887). Di sisi lain, karena lemahnya pemahaman terhadap Islam, para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi, yang didukung oleh fatwa-fatwa syekh Islam yang penuh kontroversi. Bahkan, dengan dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839, cengkeraman Barat di dunia Islam semakin kokoh. Keadaan ini diperparah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah. Boleh dikata, saat itu sedikit demi sedikit telah terjadi sekularisasi terhadap Khilafah Islam. 

Perjanjian dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan dengan Inggris (1580) membuat warga non-Muslim mendapat hak-hak istimewa. Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Kondisi ini ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk melakukan gerakannya secara intensif di dunia Islam sejak abad ke-16. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka. Gerakan ini dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Saud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah khilafah. Di Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan sejak abad ke-19 hingga abad ke-20. Khilafah Usmaniyah pada akhirnya kehilangan banyak wilayahnya, hingga yang tersisa kemudian hanya Turki. Konspirasi untuk meruntuhkan Tahun 1855 negara-negara Eropa, khususnya Inggris, memaksa Khilafah Usmaniyah untuk melakukan amandemen UUD. Maka, keluarlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855. Tahun 1908, Turki Muda yang berpusat di Salonika -- pusat komunitas Yahudi Dunamah -- melakukan pemberontakan. Tanggal 18 Juni 1913, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Nasionalisme Arab. Inggris dan Prancis di belakang mereka. Perang Dunia I tahun 1914 dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915.

Tanggal 16 Mei 1926 merupakan tanggal dimana Mehmed VI, khalifah ke-40 Turki Utsmani dan khalifah Islam ke-100, meninggal dunia di pengasingannya di San Remo, Italia. Mehmed VI juga merupakan Sultan Ottoman terakhir, kerajaan ini runtuh setelah 623 tahun berkuasa dari tahun 1299 hingga 1922 mencakup 3 benua dengan budaya, agama, dan bahasa yang berbeda. Kira-kira apa saja ya penyebab runtuhnya Kerajaan Islam terbesar ini? Kata Ottoman dan Turki (Turkey) pada awalnya hanya ditemukan pada tulisan barat saja untuk menyebut Kesultanan Utsmaniyah. Pada akhirnya nama Turki dipilih ketika rezim Turki yang beribu kota di Ankara berkuasa tahun 1920-1923 dengan alasan nama tersebut sudah digunakan sejak jaman dinasti Seljuk, pendahulu Utsmaniyah. Dari berbagai sumber, inilah penyebab runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah. 

  1. Sultan Berperangai Buruk Beberapa Sultan setelah Sultan Suleiman I dicatat oleh sejarah mempunyai perangai yang buruk. Seperti Sultan Murad III (1574 – 1595) berkepribadian jelek dan suka menuruti hawa nafsunya sendiri. Sultan Muhammad III (1595 – 1603) tercatat telah membunuh 19 saudara laki-lakinya dan menenggelamkan 10 orang janda dari ayahnya demi kepentingan pribadinya. Tidak hanya Sultan, beberapa pejabat juga mengalami penyakit yang juga menimpa bangsa-bangsa besar sebelumnya yaitu cinta dunia dan bermewah-mewahan, sikap iri hati, saling membenci, dan penindasan. 
  2. Sultan yang Lemah Tidak hanya sultan yang berperangai buruk, sultan yang lemah juga menjadi salah satu faktor kemunduran kesultanan Utsmaniyah. Sultan yang lemah membuat peluang besar bagi terjadinya degradasi politik. Ketika terjadi benturan di kalangan elit politik, dengan mudah mereka terkotak-kotak menjadi beberapa kelompok. Sementara Sultan dikondisikan untuk menghabiskan waktunya di istana agar tidak terlibat langsung dalam intrik-intrik politik yang telah dirancang. Seperti Sultan Ibrahim (1640 – 1648) yang kalah berturut-turut dalam pertempuran laut. Sultan Abd Al-Hamid (1774 – 1789) membuat “Perjanjian Kinarja” dengan Ratu Catherine II dari Rusia yang berisi pengakuan kemerdekaan Kirman (Crimea) dan penyerahan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia, serta pemberian ijin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dan Laut Putih. 
  3. Pemberontakan-pemberontakan Internal Pemberontakan terjadi dimana-mana. Ali Bey pada tahun 1770 memimpin Mamalik menguasai Mesir. Fakhral-Din, seorang pemimpin Duntze, berhasil menguasai Palestina dan pada tahun 1610 merampas Ba’albak serta mengancam Damaskus. Di Persia, Kerajaan Safawi beberapa kali mengadakan perlawanan kepada Kesultanan Utsmaniyah. 
  4. Kemerosotan Kondisi Sosial Ekonomi Kerajaan memperoleh masalah internal akibat dampak pertumbuhan perdagangan dan ekonomi internasional. Kemampuan kerajaan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri melemah, sementara saat itu bangsa Eropa telah mengembangkan kekuatan dalam struktur ekonomi dan keuangan bagi kepentingan mereka sendiri. Desentralisasi kekuasaan dan munculnya pengaruh pejabat daerah memberikan sumbangan bagi keruntuhan ekonomi tradisional Kesultanan Utsmaniyah. 
  5. Munculnya Kekuatan Eropa Kekuatan politik baru saat itu muncul di Eropa. Saat Kesultanan Utsmaniyah sibuk membenahi negara dan masyarakat, bangsa Eropa sedang menggalang militer, ekonomi, dan teknologi. Sehingga ketika terjadi konfrontasi di abad XXI, kerajaan Turki Utsmani tidak mampu menghadapi. 
  6. Kalah Perang dari Eropa Seperti kebanyakan kerajaan, musuh tidak hanya dari dalam, tapi juga dari luar. Sejak abad ke-16 Kerajaan Turki Utsmani pun sering mendapat serangan dari luar. Puncaknya adalah pada Perang Dunia I dimana Turki kehilangan segala-galanya dan militer penjajah memasuki Istambul akibat dari rencana busuk Mustafa Kemal. 
  7. Gerakan Oposisi Sekuler dan Nasionalis Jika di abad sebelumnya Kesultanan Utsmaniyah mengalami pemberontakan internal dari penguasa daerah setempat, di abad ke 20 kerajaan ini mengalami pemberontakan dari segi politik. Mustafa Kemal Ataturk menggawangi Organisasi Wanita Turki dan Organisasi Persatuan dan Kemajuan yang banyak bekerja sama dengan negara Eropa untuk menghilangkan kekhalifahan. Pada tahun 1909, dengan dalih mogok massal, Organisasi Persatuan dan Kemajuan menyingkirkan Khalifah Abdul Hamid II yang kemudian Sultan menjadi tinggal simbol belaka. 
Para ahli sejarah sepakat, zaman Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Usmaniyah. Pada masa ini, Khilafah Usmaniyah telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik. Namun sayang, setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, khilafah mulai mengalami kemerosotan terus-menerus. Banyak analisa menyebut, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Usmaniyah. Pertama, buruknya pemahaman Islam. Kedua, kesalahan dalam menerapkan Islam. Pada masa ini, terjadi banyak penyimpangan dalam pengangkatan khalifah, yang justru tak tersentuh oleh undang-undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan. Kelemahan Khilafah Usmaniyah pada abad ke-17 M itu dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 ), wilayah Hungaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. Bahkan, Khilafah Usmaniyah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dari Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 Masehi. Nasib Khilafah Usmaniyah semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).

Di sisi lain, karena lemahnya pemahaman terhadap Islam, para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi, yang didukung oleh fatwa-fatwa syekh Islam yang penuh kontroversi. Bahkan, dengan dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839, cengkeraman Barat di dunia Islam semakin kokoh. Keadaan ini diperparah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah. Boleh dikata, saat itu sedikit demi sedikit telah terjadi sekularisasi terhadap Khilafah Islam. Perjanjian dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan dengan Inggris (1580) membuat warga non-Muslim mendapat hak-hak istimewa. Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Kondisi ini ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk melakukan gerakannya secara intensif di dunia Islam sejak abad ke-16. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka. Gerakan ini dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Saud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah khilafah. Di Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan sejak abad ke-19 hingga abad ke-20. Khilafah Usmaniyah pada akhirnya kehilangan banyak wilayahnya, hingga yang tersisa kemudian hanya Turki. Konspirasi untuk meruntuhkan Tahun 1855 negara-negara Eropa, khususnya Inggris, memaksa Khilafah Usmaniyah untuk melakukan amandemen UUD. Maka, keluarlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855. Tahun 1908, Turki Muda yang berpusat di Salonika -- pusat komunitas Yahudi Dunamah -- melakukan pemberontakan. Tanggal 18 Juni 1913, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Nasionalisme Arab. Inggris dan Prancis di belakang mereka. Perang Dunia I tahun 1914 dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915.

Puncaknya ada 3 Maret 1924, badan legislatif membubarkan Khilafah Islamiyah, mengangkat Mustafa Kemal sebagai Presiden Turki, dan mengusir dari Turki serta menyita asset kekayaan dari Khalifah Abdul Hamid II dan keluarga kerajaan.