Tahun 2003 menjadi tahun paling kelam
bagi rakyat Irak karena harus berkali-kali mengalami perang berkepanjangan.
Rakyat harus merasakan kerasnya dentuman bom yang dijatuhkan tentara Amerika
Serikat (AS) ke rumah-rumah mereka. Merelakan anak-anak dan bayi mereka
meregang nyawa oleh peluru dan pecahan granat. Bahkan sampai kini, rakyat Irak
masih harus tertatih memungut serpihan-serpihan harapan yang terserak di
kota-kota mati.
Amerika butuh alasan kuat untuk menyerbu. Seperti biasa,
tangan Amerika yang bertugas melakukan propaganda di negara lain adalah CIA
(agen militer rahasia). Isunya, ada senjata pemusnah massal di Irak (nuklir).
Secara rahasia, gerakan pun dimulai. Uniknya, menjelang serbuan Amerika pada
2003, mereka hanya memiliki satu orang mata-mata yang menyamar sebagai diplomat
di sebuah kedutaan besar lain. Hanya satu sumber informasi yang diandalkan
sebagai pendukung adalah hubungan mereka dengan Irak
National Accord (INA), kelompok oposisi Saddam Hussein yang
justru sedang berada di pengasingan.
Alhasil, bocoran informasi yang mereka berikan telah kadaluwarsa selama 4 tahun. Belum lagi sikap pimpinan INA yang memang ‘mencari muka’ kepada AS agar dapat berkuasa di Irak dengan cara menjatuhkan Saddam (terbukti ia menjadi Perdana Menteri Irak pada masa transisi pasca kejatuhan Saddam Hussein).
CIA mulai kehabisan cara untuk mengumpulkan informasi yang
bisa menguatkan dugaan bahwa Saddam sedang merancang program senjata pemusnah
massal. Pengakuan ini perlu bagi AS untuk lebih meyakinkan sekutunya. Cara lain
pun ditempuh, yakni CIA memanfaatkan para keluarga ilmuwan Irak untuk mengorek
informasi dari ilmuwan-ilmuwan genius Irak yang diduga terlibat dalam proyek
berbahaya Saddam. Hal ini dilakukan karena para ilmuwan Irak yang pernah
diwawancarai secara ketat oleh komisi pengawas persenjataan dari PBB mengatakan
bahwa kecurigaan AS tak berdasar. Sebab, Irak telah lama menghentikan program
nuklir (sejak gencatan senjata dengan Iran). Hal ini pun diakui pula oleh tiga
puluh orang keluarga ilmuwan Irak yang menjadi mata-mata. Mereka melaporkan
kepada CIA bahwa program pengembangan senjata biologi, kimia, dan nuklir Irak
telah lama dihentikan. Gilanya, dengan alasan yang tidak jelas, CIA memilih
tidak meneruskan laporan dari mata-mata itu ke Presiden. Akibatnya, Presiden
Bush dan jajarannya di Gedung Putih tidak mendapatkan laporan akurat tentang
kondisi sebenarnya.
David Kay, Kepala CIA yang bertugas memburu senjata pemusnah massal Irak menyatakan keluar dari CIA pada 2004. Secara terbuka ia mengakui bahwa sama sekali tidak ada senjata pemusnah massal di Irak. Kemudian, pada 2005, bos besar CIA pun mengakui bahwa mereka telah membuat kesalahan yang menjadi ‘pukulan telak’ bagi AS. Tapi, apa daya? Ratusan nyawa telah menguap bersama asap mesiu dan mesin-mesin perang. Ratusan perempuan telah menjadi janda karena para lelaki mereka telah direnggut paksa dari rumah mereka yang bersahaja. Ribuan anak telah menjadi yatim piatu. Tidak hanya rakyat Irak, tapi ribuan pasukan AS dan sekutu mati bertempur untuk alasan yang salah.
Tentang Saddam Husein
Saddam Husein lahir pada tahun 1937di Tikrit.
Kehidupan di Desanya teramat sangat keras, pada masa kecilnya saddam seringkali
keluar rumah dengan membekali diri dengan senjata sebagai alat bela diri
dikarenakan seringkali terjadi bentrokan antar dengan teman sebayanya. Pada
usia 16 Tahun Saddam sudah menjadi ketua geng jalanan. Pada Usia 17 Tahun
Saddam membunuh salah seorang saingan pamanya hingga dipenjara 6 bulan. Pada
Usia 19 Tahun sudah berkomplot untuk menumbangkan monarki yang berkuasa dan
pada usia 21 tahun melakukan percobaan pembunuhan dengan menembak perdana
menteri Irak dengan senapan Mesin.
Saddam Husein Menjadi Presiden Irak
Pada usia 20 tahun ia terjun dalam dunia
politik dengan bergabung dalam Partai Baath. Saddam memainkan peran penting
dalam kudeta yang dilakukan Partai Baath terhadap Presiden Irak saat itu, Abdul
Rahman Arif pada tahun 1968. Kudeta tersebut dipimpin oleh ketua Partai Baath,
Hasan Al Bakr, yang setelah kudeta mengangkat diri sebagai presiden. Saddam pun
diangkat sebagai wakil Hasan Al Bakr dan menduduki posisi itu selama 15 tahun.
Selama itu pula, Saddam melakukan berbagai aksi represif terhadap rakyat Irak.
Setelah semakin berkuasa, Sadam pun menyingkirkan Hasan Al Bakr dan merebut
posisi sebagai presiden dan pemimpin Partai Baath.
Tak lama setelah Sadam menjadi pemimpin partai
Baath, dia melakukan pembersihan besar-besaran dalam tubuh partai. Para penentangnya
dibunuh. Para ulama penentang Saddam juga dibunuh atau disiksa dalam penjara.
Selama 35 tahun menjadi pemimpin Partai Baath, dia melakukan berbagai
pembunuhan massal terhadap rakyat Kurdi di utara Irak dan rakyat Syiah di
selatan Irak.
Sebagian sejarawan meyakini, sejak sebelum
kudeta tahun 1968, sesungguhnya Saddam sudah menjalin hubungan dengan AS.
Menurut mereka, Saddam setelah pembunuhan terhadap Abdul Karim Qasim tahun 1959
melarikan ke Mesir dan di negara ini dia menjalin hubungan dengan agen-agen
CIA. Empat tahun kemudian, Saddam pun kembali ke Irak.
Pelayanan penuh Saddam terhadap Gedung Putih
mulai terlihat mencolok di hadapan opini umum sejak dia menjadi wakil presiden
Hasan Al Bakr. Setelah dia menyingkirkan Hasan Al Bakr yang tak lain sepupunya
sendiri, dan meraih tampuk kepresidenan, Saddam semakin meningkatkan
kerjasamanya dengan Gedung Putih. Pelayanan terbesar yang dilakukan Saddam
terhadap kehendak para penguasa AS adalah invasinya ke Iran pada tahun 1980,
segera setelah kemenangan revolusi Islam Iran. Revolusi Islam Iran telah
menumbangkan raja boneka Amerika, Shah Pahlevi. AS juga tidak bisa lagi
mengeksploitasi kekayaan alam Iran sebagaimana yang telah dilakukannya selama
era pemerintahan Pahlevi. Itulah sebabnya AS mendalangi serangan Saddam
terhadap Iran.
Selain memberikan bantuan politik dan dana,
negara-negara Barat itu juga membantu Saddam dalam memproduksi senjata pembunuh
massal yang digunakan dalam menyerang Iran.
Menurut data, selama era perang itu, AS dan
negara-negara Barat lain, serta negara-negara Arab, telah memberikan bantuan
sebesar 120 milyar dollar kepada Saddam. Periode perang delapan tahun Irak-Iran
adalah periode keemasan hubungan antara Saddam dan AS. Donald Rumsfeld pada
tahun 1983 datang ke Irak untuk berjumpa dengan Saddam dan menjanjikan bantuan
keuangan. Robert Fisk wartawan terkemuka dari AS menulis, "Pada zaman
ketika Irak membeli gas kimia dari AS, saya dengan mata kepala sendiri melihat
bahwa Rumsfeld bersalaman dengan Saddam.
Kejatuhan Saddam
Husein
Secara resmi Amerika
Serikat (AS) menginvasi Irak dengan kode “Operasi Pembebasan Irak” pada tanggal
19 Maret 2003. Tujuan utamanya adalah untuk melucuti senjata pemusnah masal
Irak, yang sampai detik ini tuduhan tersebut tidak kunjung terbukti. Bahkan Tim
Inspeksi PBB yang diketuai oleh Hans Blix secara tegas telah menyatakan tidak
menemukan bukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah masal. Untuk menjalankan
misi ini, pada 18 Februari, AS telah mengirimkan 100.000 pasukan ke Kuwait.
Pasukan ini mendapatkan dukungan dari pasukan koalisi yang terdiri dari lebih
dari 20 negara dan Syiah Kurdi di Irak Utara.
Operasi
Pembebasan Irak, yang sejatinya lebih tepat dikatakan sebagai ‘Operasi
Pendudukan Irak’ ini menyisakan banyak sekali kejanggalan. Alasan AS untuk
membebaskan rakyat Irak dari kediktatoran Saddam Husein sangat bertentangan
dengan fakta di lapangan, di mana nama Saddam Hussein begitu dieluh-eluhkan
oleh rakyat Irak, kecuali oleh suku Kurdi di utara Irak, yang berediologi
Syiah. Invasi ini tidak lebih dari ketakutan berlebihan AS di bawah
kepemimpinan Bush bahwa eksistensi Israel akan terancam jika Irak memiliki
senjata atau peralatan tempur yang canggih. Kekhawatiran ini dipertegas
dengan laporan intelijen Bush yang mengatakan bahwa Irak memiliki rudal dengan
jarak jangkau 900 kilometer. Padahal setelah dicek langsung oleh Tim Inspeksi
PBB, Irak hanya memiliki rudal yang mampu menjangkau sekitar 10 sampai 15
kilometer saja. Hasil laporan PBB inilah yang membuat Saddam Hussein menyatakan
kepada dunia, “Mampukah rudal ini menembus Israel? Mampukah mencapai AS?”.
Akhirnya pada tanggal 9 April 2003, perang AS-Irak dinyatakan telah selesai dengan dikuasainya kota Bagdad oleh AS dan tertangkapnya Saddam Hussein. Saddam ditangkap dalam sebuah operasi bersandi ‘Red Dawn’ (Fajar Merah), yang melibatkan pasukan Divisi Infanteri IV Angkatan Darat AS dan satuan operasi khusus pasukan koalisi. Sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Komandan Pasukan Koalisi Letnan Jenderal Ricardo Sanchez, data keberadaan Saddam Hussein diperoleh dari hasil penyelidikan intelijen dan keterangan para tahanan.
Dalam
pemerintahan Irak yang baru pasca tumbangnya Saddam Hussein, Hakim Abdul Rauf
Abdul Rahman, hakim keturunan Kurdi yang menggantikan Rizgar Amin yang
sebelumnya telah mengundurkan diri, menjatuhkan hukuman mati (gantung) kepada
mantan presiden Irak Saddam Hussein, dengan tuduhan telah melakukan pembunuhan
terhadap 148 orang Syiah di wilayah Dujail. Keputusan ini pun disambut dengan teriakan
takbir oleh Saddam Hussein, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Hidup
rakyat Irak, hidup umat Islam, hancurlah para penjajah, hancurlah para
pengkhianat.”
Saat ia berada di
tiang gantungan, ia masih sempat mengirimkan pesan kepada para pemimpin Arab,
“Amerika akan menggantung saya, dan kalian akan digantung oleh rakyat kalian
sendiri. Saya hanya ingin umat ini dapat mengangkat kepalanya dan tidak
tertunduk kepada Zionis. Untuk dapat menjadi pemimpin maka rakyat yang anda
pimpin harus percaya bahwa anda adalah orang yang adil meskipun anda bersikap
keras jika memang kondisi mengharuskan demikian. Jagalah rahasia orang, jangan
ceritakan kepada orang lain, atau menggunakan rahasia seorang sahabat untuk
menjatuhkannya. Percayalah kepada mereka yang tidak ragu untuk melakukan
tugas-tugas berat yang seakan tampak di luar batas kemampuan mereka. Jangan
memilih mereka yang hanya mau menjalankan tugas-tugas ringan di bawah kemampuan
asli mereka.”
Kemudian
Saddam Hussein melanjutkan, “Saya benar-benar menentang Zionis dan Amerika.
Akan tetapi kesalahan saya adalah karena tidak begitu memahami pergerakan Islam
dan persatuan antar kelompok-kelompok Islam, sebagaimana umat Islam juga tidak
begitu memahami saya dan keinginan saya untuk merealisasikan proyek Islam yang
sangat besar. Namun saat ini saya telah memahami hal itu, meskipun sudah
terlambat, bahwa merekalah (umat Islam) satu-satunya yang mampu membungkam
proyek Zionis, seandainya mereka benar-benar diberi kesempatan dan
infrastruktur pendukungnya. Penyesalan selalu datang di akhir.”
Pernyataan
Saddam Hussein bahwa para pemimpin Arab akan digantung (dibunuh, diperangi)
oleh rakyatnya sendiri telah terbukti sejak tahun 2011, 8 tahun setelah invansi
Amerika ke Irak tahun 2003. Api revolusi yang terjadi di Timur Tengah (Arab)
yang lebih dikenal dengan sebutan ‘ar-Rabi’ al-Arabi’ (Arab Spring) telah
berhasil menumbangkan para pemimpin Arab yang dianggap diktator, sebagaimana
terjadi di Tunisia, Libya, Mesir, dan terakhir Suriah yang tidak kunjung usai.
Saddam mengerti betul bagaimana siasat dan konspirasi Amerika dalam
memecah-belah dunia Arab khususnya, dan dunia Islam secara umum, demi
mengamankan hegemoninya di bidang politik, sosial, dan ekonomi. (Syaifuddin)
Silahkan baca lebih lanjut di : http://islampos.net/wp/detik-detik-invasi-as-ke-irak-1-keterlibatan-kuwait-saudi-mesir-kerjasama-cia-8254/
Silahkan baca lebih lanjut di : http://islampos.net/wp/detik-detik-invasi-as-ke-irak-1-keterlibatan-kuwait-saudi-mesir-kerjasama-cia-8254/