Kejatuhan
Presiden Tunisia 14 Januari 2011
Jenderal
Zine El Abidine Ben Ali lahir di Hammam-Sousse, lahir 3 September 1936) adalah Presiden Republik Tunisia sejak 7 November 1987 dan presiden yang kedua sejak
kemerdekaannya dari Perancis pada 20 Maret 1956. Di Tunisia, media
massa sering menyebutnya Ali
Baba.
Biografi
Biografi
Sebagai
militan muda dari Partai Neo-Destour, ia dikirim ke Perancis untuk menjalani
latihan militer. Ia lulus dari Sekolah Inter-Arms di Saint-Cyr-l'École dan Sekolah Artileri di Châlons-en-Champagne, dan kemudian melanjutkan
pendidikan militernya di Amerika Serikat.
Bin
Ali ditunjuk mendirikan dan mengatur Departemen Keamanan Militer pada 1964 hingga 1974. Ia dipromosikan
sebagai Direktur-Jenderal Keamanan Nasional dalam Departemen Dalam Negeri pada 1977, setelah menjabat sebagai atase militer
di Maroko.
Ben Ali kembali dari 4 tahun sebagai Duta Besar untuk Polandia menjadi kepala Keamanan Nasional namun
kini dengan posisi setingkat Menteri. Ia mengambil posisi ini saat
berkembangnya gerakan Islam radikal. Pada saat ini ia diangkat sebagai
Men-Dagri, dan bertahan pada posisi ini saat ia menjadi Perdana Menteri di bawah
Presiden Habib Bourguiba pada 1 Oktober 1987.
Bin
Ali memecat Presiden Bourguiba dan memangku jabatan presiden pada 7 November 1987 dengan dukungan beberapa rakyat.
Tujuh orang doktor menandatangani kertas yang menyatakan Presiden Bourguiba tak
cakap menjabat. Ia kemudian mempertahankan sikap politik luar negeri nonblok
pendahulunya dan mendukung ekonomi yang telah berkembang sejak awal 1990-an.
Proyek pekerjaan umum yang besar, termasuk bandara, jalan raya atau perumahan,
telah dijalankan. Bagaimanapun pengangguran menyisakan masalah ekonomi yang besar.
Pada
masa rezimnya, gerakan-gerakan Islam yang ada di Tunisia mengalami nasib lebih
tragis dari sebelumnya. Tatkala partainya menyapu bersih perolehan kursi yang
ada di parlemen, ia memenjarakan lebih dari 30.000 aktivis gerakan Islam yang
merupakan tulang punggung partai yang olehnya dianggap sebagai
"pembangkang". Sesungguhnya Ben Ali telah menjadikan Tunisia sebagai
penjara terbuka dan pusat kebejatan moral. Walhasil, dengan salah kaprahnya
pemikiran dan pemahaman rezim yang ada, Islam dan para pengembannya mengalami
deraan, siksaan, dan hambatan berat.
Bin
Ali melanjutkan pendekatan otoriter pendahulunya dan memuja kepribadian
(aktivitasnya mengambil tempat banyak dari berita harian). Meski ia mengumumkan pluralisme politiknya pada 1992, Rapat Umum
Konstitusional Demokratiknya (dahulu Partai Neo-Destour) melanjutkan dominasi
politik nasional. Rezimnya masih tidak mengizinkan aktivitas oposisi dan
kebebasan pers menyisakan penyamaran. Pada 1999, walaupun dua
kandidat alternatif yang tak dikenal diizinkan untuk pertama kalinya berada
dalam pemilihan presiden, Ben Ali diangkat kembali dengan 99,66% suara. Ia
kembali dipilih pada 24 Oktober 2004, secara resmi meraih
94,48% suara, setelah referendum konstitusi yang kontroversial pada 2002 yang membuatnya bertahan sebagai
presiden setidaknya hingga 2014.
Penindasan Pakaian
Muslim
“Tunisia keluar dari zaman kegelapan yang melanda
seluruh alam politik dan sosial serta kebebasan beragama,” kata Profesor
Noureddine Mokhtar el-Khademi kepada OnIslam.net dalam sebuah wawancara telepon
Jumat (21/1/2011). “Religiusitas tidak diragukan lagi adalah fitur penting
bangsa Tunisia yang dilemahkan selama beberapa tahun terakhir”, lanjutnya.
Presiden terguling, Ben Ali, melarikan diri ke
Arab Saudi pekan lalu setelah berminggu-minggu menghadapi gelombang massa
jalanan yang memprotes maraknya kemiskinan dan pengangguran.
Di bawah pemerintahan Ben Ali selama 23 tahun (7
November 1987 sd 14 Januari 2011), Muslim Tunisia dilarang mengenakan jilbab di
tempat umum. Masjid-masjid hanya dibuka sesaat sebelum waktu shalat dan segera
tutup setelah shalat. Kaum Muslim juga dilarang shalat di masjid-masjid di luar
waktu yang ditentukan pemerintah.
Beberapa kelompok politik dan gerakan Islam
dilarang di bawah rezim Ben Ali, termasuk partai Islam An Nahdhah pimpinan
Syaikh Rasyid Al-Ghanusyi (Rached Ghannouchi) yang terpaksa tinggal di
pengasingan.
Pemerintah sementara pimpinan PM Mohamed
Ghannounci hari Kamis menyetujui rancangan undang-undang amnesti umum bagi para
tahanan politik.
Para pengamat percaya, kejatuhan rezim Ben Ali
akan membuka era baru kebangkitan Islam di negara Afrika Utara itu. “(Setelah
jatuhnya Ben Ali), kita akan lihat sekarang kehidupan beragama berkembang di
masa mendatang,” kata Khademi, seorang profesor di Universitas Ez-Zitouna.
Tanda-tanda kebangkitan Islam itu dengan cepat muncul pasca kejatuhan Ben Ali. Kini televisi yang dikelola negara menyiarkan Adzan, diikuti beberapa Hadis Nabi Muhammad Saw. Warga Tunisia juga dilaporkan berbondong-bondong ke masjid di setiap saat tanpa ada pembatasan.
“Masjid harus selalu terbuka untuk shalat dan
pelajaran agama,” kata Khademi. “Masjid harus terbuka untuk jamaah sepanjang
waktu,” usulnya.
Para pengamat juga percaya, kaum Muslimah
berpakaian jilbab akan mampu menjaga jilbabnya di tempat umum.
Jadikan Islam sebagai
Dasar Negara
MAJELIS
Nasional Tunisia dikabarkan telah menyetujui konstitusi baru dasar negara dalam
rangka membangun demokrasi. Akhirnya, setelah tiga tahun lebih pemberontakan
rakyat yang menyebabkan jatuhnya Zainal Abidin bin Ali, mantan diktator negara
ini, Islam dijadikan sebagai dasar negara.
Tepat
sebelum pemungutan suara konstitusi, Mehdi Jumat, Perdana Menteri Tunisia,
telah membentuk kabinet baru sebagai bagian dari perjanjian untuk mengakhiri
krisis selama tiga tahun negara ini.
Krisis
antara Islam berkuasa dan oposisi sekuler, dalam beberapa bulan terakhir
terlihat semakin kentara, shabestan melaporkan pada Selasa (28/1/2014).
Setelah voting
bersejarah ini dilaksanakan, bendera putih dan merah Tunisia dikibarkan, dan
para perwakilan merayakan penetapan konstitusi ini.
Mustafa
bin Ja’far, juru bicara Majelis mengatakan, konstitusi dasar ini merupakan
impian rakyat Tunisia sejak dulu. Ja’far percaya perubahan konstitusi ini akan
menciptakan sebuah negara sipil yang demokratis.