MARIYAH AL KHIBTIYYAH RA





Dia memang seorang sahaya. Namun siapakah yang dapat menahan bila Rabbnya hendak memuliakannya? Ketika cahaya iman menyusup dalam hatinya, ketika pesona dirinya menawan hati manusia yang paling mulia, dia pun memulai perjalanan yang penuh kemuliaan…

Kembali dari Hudaibiyah, usai mengikat perjanjian dengan kaum Quraisy, pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam setelah hijrah, Rasulullah mengutus para shahabat ke berbagai negeri untuk menyerukan Islam. Hathib bin Abi Balta’ah termasuk salah seorang duta Rasulullah. Dia diutus ke hadapan Al-Muqauqis, penguasa Iskandariyah, Mesir, dengan membawa sepucuk surat dari Rasulullah yang berisi ajakan untuk masuk ke dalam Islam.


Al-Muqauqis pun menerima dengan baik surat Rasulullah Dia membacanya dan membalasnya dengan mengirim hadiah bagi Rasulullah empat orang sahaya perempuan, seorang sahaya laki-laki yang telah dikebiri bernama Ma’bur, seekor bighal bernama Duldul, seekor keledai bernama ‘Ufair, dan hadiah lainnya. Di antara para sahaya perempuan, ada seorang gadis molek berkulit putih bernama Mariyah bintu Syam’un Al-Qibthiyyah, beserta saudarinya, Sirin. Ibu Mariyah adalah seorang wanita Romawi.

Hathib bin Abi Balta’ah kembali dengan membawa seluruh hadiah dari Al-Muqauqis. Kepada para sahaya yang dibawanya, Hathib z menawarkan agar masuk Islam. Gayung pun bersambut. Allah melapangkan jiwa raga Mariyah Al-Qibthiyyah dan saudarinya, Sirin, untuk menerima Islam. Sedangkan Ma’bur baru berislam setelah di Madinah.

Mariyah Al-Qibthiyyah x, seorang wanita dengan kecantikan yang begitu memikat. Saat melihatnya, Rasulullah pun tertarik hingga memilihnya. Sedangkan Sirin, beliau menghadiahkannya pada Hassan bin Tsabit Al-Anshari yang kelak darinya lahir ‘Abdurrahman bin Hassan bin Tsabit.

Hari bergulir, waktu pun berselang. Tergurat kisah pada diri Mariyah. Bulan Dzulhijjah tahun kedelapan setelah hijrah. Mariyah Al-Qibthiyyah melahirkan putra Rasulullah. Salma, maula (bekas budak) Rasulullah, istri Abu Rafi’, yang menolong dan mendampingi Mariyah saat itu. Setelah bayi mungil itu lahir, Salma segera mengabarkan kepada suaminya. Bersegera pula Abu Rafi’ beranjak menyampaikan kabar gembira ini kepada Rasulullah. Kebahagiaan dan suka cita mewarnai hati Rasulullah hingga beliau menghadiahkan seorang budak kepada Abu Rafi’.

Tujuh hari setelah itu, Rasulullah menyelenggarakan aqiqah bagi putranya. Saat itu pula beliau mencukur rambut bayi laki-laki itu dan memberinya nama dengan nama bapak para nabi, Ibrahim. Bergelarlah kini Mariyah bintu Syam’un Al-Qibthiyyah dengan Ummu Ibrahim. Lalu Rasulullah bersedekah dengan perak seberat rambut Ibrahim untuk orang-orang miskin, dan memerintahkan orang-orang untuk menguburkan rambut itu. Bayi itu pun kemudian diserahkan kepada Ummu Saif, istri Abu Saif, untuk disusui.

Namun, tak ada yang bisa menolak ketetapan Allah. Ternyata tidak panjang usia Ibrahim. Dia meninggal di tengah masa penyusuannya pada Ummu Saif. Sembari memeluk tubuh Ibrahim, dengan berlinang air mata, Rasulullah berkata, “Wahai Ibrahim, kalaulah bukan karena ini adalah perkara yang pasti terjadi dan janji yang benar, dan kalaulah bukan karena orang-orang yang akhir akan menyusul orang-orang yang mendahuluinya, sungguh kami akan merasa sedih dengan kesedihan yang lebih dari ini. Sungguh, kami sangat bersedih atasmu, wahai Ibrahim…”

Di tengah kepiluan, Rasulullah mengatakan, “Air mata berlinang dan hati pun merasa sedih. Namun kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang membuat murka Rabb kami.”

Ibrahim, putra Rasulullah dari Mariyah Al-Qibthiyyah, telah tiada. Dia dikuburkan di pekuburan Baqi’. Tergores peristiwa ini pada tahun kesepuluh setelah hijrah. Rasulullah mengabarkan tentang putranya, “Dia mendapat ibu susu di dalam surga yang akan menyempurnakan susuannya.”

Bertepatan dengan meninggalnya Ibrahim, terjadi gerhana matahari. Orang-orang pun menganggap peristiwa itu terjadi karena kematian Ibrahim. Rasulullah pun kemudian berkhutbah, “Sesungguhnya matahari dan rembulan adalah dua di antara ayat-ayat Allah. Keduanya tertutup bukan karena kematian ataupun hidupnya seseorang. Oleh karena itu, apabila kalian melihat peristiwa itu, bersegeralah untuk berdzikir kepada Allah dan menunaikan shalat.”

Mariyah Al-Qibthiyyah melalui hari-harinya bersama Rasulullah hingga beliau wafat. Sepeninggal beliau, Abu Bakr Ash-Shiddiq memberikan infak kepada Mariyah sampai Abu Bakar meninggal, kemudian dilanjutkan oleh Amirul Mukminin ‘Umar ibnul Khaththab.

Lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, tahun keenam belas setelah hijrah, pada masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab, Mariyah bintu Syam’un Al-Qibthiyyah kembali ke hadapan Rabbnya. Saat itu, Amirul Mukminin mengumpulkan manusia untuk menghadiri jenazahnya dan menshalati, kemudian menguburkan di pekuburan Baqi’.

Mariyah bintu Syam’un Al-Qibthiyyah, semoga Allah meridhainya…


Sumber bacaan:

Al-Ishabah, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani (8/111-112)

Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (1/54-59, 4/1912)

Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (1/134-136)