PENGERTIAN ZAKAT DAN HAK PENERIMA ZAKAT


Zakat termasuk ke dalam rukun Islam dan menjadi salah satu unsur yang paling penting dalam menegakkan syariat Islam. Oleh karena itu hukum zakat adalah wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat juga merupakan bentuk ibadah seperti sholat, puasa, dan lainnya dan telah diatur dengan rinci berdasarkan Al-quran dan Sunah.

Zakat mempunyai beberapa arti, diantaranya :
Pertama : An-Nama (tumbuh dan berkembang), artinya bahwa harta yang dikeluarkan zakat darinya, tidaklah akan berkurang, justru akan tumbuh dan berkembang lebih banyak. Faktanya sudah sangat banyak.
Kedua : Ath-Thaharah (suci), artinya bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya, akan menjadi bersih dan membersihkan jiwa yang memilikinya dari kotoran hasad, dengki dan bakhil.
Ketiga : Ash-Sholahu (baik), artinya bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya, akan menjadi baik dan zakat sendiri akan memperbaiki kwalitas harta tersebut dan memperbaiki amal yang memilikinya.  
Adapun zakat secara istilah adalah jenis harta tertentu yang pemiliknya diwajibkan untuk memberikannya kepada orang-orang tertentu dengan syarat-syarat tertentu juga.
Pengertian Zakat

Secara lughoh atau bahasa, zakat berasal dari bahasa Arab yang berarti suci, bertambah dan berkembang, berkah, dan terpuji. Sedangkan secara istilah syara’, zakat berarti suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT dengan mengeluarkan sebagian hartanya dan hukumnya wajib untuk dikeluarkan sesuai aturannya dan diberikan kepada golongan-golongan tertentu yang berhak menerimanya.

Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 103 yang artinya “Ambillah dari harta mereka sedekah (zakat) untuk membersihkan mereka dan menghapuskan kesalahan mereka” (Q.S. At Taubah : 103). 

Dan sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 77 yang artinya: ”Laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat ”.

Dengan melaksanakan zakat, berarti kita telah membersihkan harta yang kita miliki. Zakat dilakukan setahun sekali tepatnya pada bulan ramadhan. Dengan mengeluarkan zakat, bukan berarti harta yang dimiliki akan habis, tentu tidak. Zakat itu artinya mensucikan, membersihkan, menambah. Jadi, sebagian harta yang wajib dikeluarkan itu, walaupun terlihat berkurang akan tetapi pada dasarnya akan bertambah jumlah & keberkahannya, serta akan mensucikan dan membersihkan diri dari segala dosa.

Macam-macam Zakat

Zakat terbagi menjadi dua macam yaitu zakat fitrahdan zakat maal. Adapun penjelasannya yakni sebagai berikut :

Zakat Fitrah
Hukum dari zakat fitrah hukumnya adalah wajib ain yang artinya wajib bagi muslim laki laki, perempuan, tua maupun muda. Hukum zakat fitrah banyak tertera di berbagai ayat Al Qur'an sebagaimana tertera pada ayat-ayat berikut :

"Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku." (QS: Al-Baqarah 2:43)

"Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan". (QS: Al-Baqarah 2:110)

Zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim menjelang hari kemenangan yaitu hari raya Idul Fitri pada bulan suci Ramadhan. Ukuran zakat yang dikeluarkan yaitu 2,5 kg dan berupa makanan pokok yang ada di daerahnya masing-masing, seperti beras, sagu, gandum, kurma dan lainnya. Menurut Imam Syafi’iyah ukuran zakat fitrah yakni :

1 sha’ : 2 Qodah Mesir 
1 sha’ : 4 Mud
1 mud :1⅓ kati Baghdad
1 kati : 128 4/7 Dirham
1 Dirham : 4 gram
Jadi jumlah 1 sha’ sama dengan 2,743 Kg

Syarat-Syarat Wajib Membayar Zakat Fitrah 

  • Orang Islam. sedangkan bagi orang yang bukan islam tidak diwajibkan
  • Membayar zakat fitrah dilaksanakan setelah terbenamnya matahari dari bulan ramadhan sampai akhir bulan ramadan. 
  • Memiliki harta yang berlebih dengan ketentuan kelebihan harta untuk dirinya sendiri dan untuk keluarganya. Sedangkan bagi yang kekurangan tidak diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. 

5. Rukun-Rukun Zakat Fitrah

  • Niat untuk menunaikan zakat fitrah dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT
  • Terdapat pemberi zakat fitrah atau musakki
  • Terdapat penerima zakat fitrah atau mustahik
  • Terdapat makanan pokok yang dizakatkan
  • Besar zakat fitrah yang dikeluarkan sesuai agama islam 
Waktu pembayaran zakat fitrah

berikut adalah beberapa waktu yang diperbolehkan, wajib, sunnah, makruh, dan haram pada saat pembayaran zakat fitrah.
  1. Waktu yang diperbolehkan, yaitu dari bulan ramadhan sampai terakhir bulan ramadhan
  2. Waktu yang Wajib, yaitu dari terbenam matahari penghabisan bulan ramadhan.
  3. Waktu yang lebih baik (sunnah), yaitu dibayarkan sesudah shalat shubuh, sebelum pergi shalat ied.
  4. Waktu makruh, yaitu membayar zakat fitrah sesudah shalat ied, tetapi sebelum terbenam matahari, pada hari raya idul fitri.
  5. Waktu haram, yaitu membayar zakat fitrah setelah terbenam matahari pada hari raya idul fitri.
Salah satu hadist yang memperkuat hal tersebut adalah :

"Bahwa Rasulullah memerintahkan agar zakat fitrah diberikan sebelum orang-orang Islam pergi untuk menunaikan ibadah shalat Idul Fitri (Shalat Ied). (Hadist Shahih Muslim 1645)"
Adapun cara dalam melakukan melakukan zakat fitrah adalah bisa dengan membayar sebesar satu sha' (1 sha'=4 mud, 1 mud=675 gr). Perhitungan tersebut jika di implementasikan dalam bentuk yang lebih general lagi kira-kira setara dengan 3,5 liter atau 2.7 kg makanan pokok (tepung, kurma, gandum, aqith) atau yang biasa dikonsumsi di daerah bersangkutan (Mazhab syafi'i dan Maliki).

Syarat Wajib Zakat Fitrah .
Berikut adalah Syarat wajib mengeluarkan zakat fitrah :

a. Islam. orang yang bukan islam tidak wajib
b. Dilaksanakan sesudah terbenam matahari diakhir bulan Ramadhan
c. Mempunyai kelebihan harta untuk keperluan makan dirinya sendiri dan keluarga.

Rukun Zakat Fitrah
Berikut adalah Rukun dari zakat fitrah .
a. Niat zakat
b. Orang yang berzakat atau nama lainya adalah muzakki
c. Orang yang menerima atau nama lainya adalah Mustahik
d. Makanan pokok yang dizakatkan.

Niat Zakat Fitrah untuk diri sendiri dan keluarga

Bacaan Doa Niat Zakat Fitrah untuk diri sendiri dan keluarga : "Nawaitu an uhrija zakat fitri anna wa 'an jami'i maa yalzamuni nafqu tuhun syiar a'an far dzolillahi ta'ala".

Artinya : " Saya niat mengeluarkan zakat atas diri saya dan atas sekalian yang saya wajibkan memberi nafkah pada mereka secara syari'at, fardhu karena Allah ta'ala".

Niat Zakat Fitrah untuk diri sendiri 

Bacaan Doa Niat Zakat Fitrah untuk diri sendiri : "Nawaitu an ahroja zakat fitri annafsi fardholillahi ta'ala"

Artinya : "saya berniat mengeluarkan zakat fitrah atas diri sendiri saya sendiri, fardhu karna Allah Ta'ala. 

Niat Zakat Fitrah untuk istri 

Bacaan Doa Niat Zakat Fitrah untuk istri : "Nawaitu an-uhrizakat fitri an zaw jati fardzolillahita 'ala". 

Artinya : "Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya, fardhu karena Allah Ta'ala.
Niat Zakat Fitrah untuk anak laki-laki kita

Bacaan Doa Niat Zakat Fitrah untuk anak laki-laki kita : 
"Nawaitu an uhrija zakat fitri (.....) fardzolillahi ta'ala". 

Artinya : "Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya (sebut namanya) fardhu karena Allah Ta'ala". 
Bacaan Doa Niat Zakat Fitrah untuk anak perempuan kita

Bacaan Doa Niat Zakat Fitrah untuk anak perempuan kita : "Nawaitu an uhrija zakat fitri ambinti (.......) fardzolillahita'ala". 

Artinya : "Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah atas anak perempuan saya (sebut namanya), fardhu karena Allah ta'ala". 

Bacaan Doa Niat Membayar dan Menerima Zakat Fitrah

Dalam melakukan zakat fitrah terdapat serah terima antara pemberi dan penerima zakat yang disertai dengan doa kedua belah pihak antara lain sebagai berikut...
Niat Membayar Zakat Fitrah

Bacaan Doa Niat Membayar Zakat Fitrah : "Allahumma j'alhaa maghnaman, walaa taj'alhaa maghraman". 

Artinya : "Ya Allah jadikanlah ia sebagai simpanan yang menguntungkan dan jangan jadikanlah ia pemberian yang merugikan".

Niat Menerima Zakat Fitrah 

Bacaan Doa Niat Menerima Zakat Fitrah : "Aajarak-llahuma fiima a'thaita, wa baraaka laka fiimaa abqaita, waj'alhu laka thahuuraa". 

Artinya : Semoga Allah memberi pahala atas apa yang telah kau berikan, menjadikannya penyuci (jiwa dan harta) untukmu, dan melimpahkan berkah terhadap harta yang tersisa". 

Zakat Maal

Yakni zakat harta kekayaan yang dikeluarkan oleh setiap muslim. Contoh harta yang harus dizakati seperti hasil pertambangan, peternakan, perniagaan, perkebunan, hasil laut, emas & perak, harta temuan. Dan kesemua harta itu memiliki hitungan masing-masing. Adapun syarat dikeluarkannya zakat adalah telah cukup senisab dan mencukupi haul atau mencapai satu tahun kecuali harta pertanian seperti buah-buahan atau harta temuan, itu tidak harus menunggu hingga satu tahun.

Dalam Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat No. 38 tahun 1998, pengertian zakat maal adalah bagian dari harta yang disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki orang muslim sesuai ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Undang-undang tersebut juga menjelaskan tentang zakat fitrah, yaitu sejumlah bahan pokok yang dikeluarkan pada bulan Ramadhan oleh setiap muslim bagi dirinya dan bagi orang yang ditanggungnya, yang memiliki kewajiban makan pokok untuk sehari pada hari raya idul fitri.
Rukun dari Zakat mal
Berikut adalah rukun dari zakat mal , yaitu
a. Niat berzakat
b. Orang yang berjakat (muzakki)
c. Orang yang menerima (mustahik)
d. Barang/harta yang dizakatkan

Mustahiq Zakat

Yaitu orang-orang yang berhak menerima zakat. Adapun mustahiq zakat harta ada delapan ashnaf sesuai dalam firman Allah Q.S. At-Taubah ayat 60, yakni :

  1. Fakir
Adalah orang-orang yang tidak memiliki harta apapun untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari dan tak mampu bekerja ataupun berikhtiar.

  1. Miskin
Adalah orang-orang yang memiliki penghasilan, namun tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari atau kekurangan.

  1. Amil
Mereka adalah orang-orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Bisa juga disebut dengan panitia zakat.

  1. Muallaf
Orang yang baru masuk kedalam Agama Islam dan masih membutuhkan bimbingan karena keimanannya masih lemah.
  1. Gharimin
Yakni orang yang memiliki hutang piutang, namun tidak mampu untuk membayarnya.

  1. Hamba Sahaya
Atau disebut juga budak. Yakni orang-orang yang belum merdeka dan dimerdekakan (orang yang ingin memerdekakan dirinya).

  1. Sabilillah
Adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah SWT, seperti para syuhada’, para ulama, ustadz ustadzah yang mengarkan ilmu agama di pesantren ataupun di musholla dll.

  1. Ibnu Sabil
Yakni orang-orang musafir atau yang sedang dalam perjalanan yang kehabisan bekal perjalanan seperti contoh, orang yang sedang bertholabul ‘ilmi, melakukan dakwah dls.

Yang Tidak Berhak Menerima Zakat
  1. Orang kaya dan orang yang masih memiliki tenaga
  2. Hamba sahaya yang masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya
  3. Keturunan Rasulullah (ahlul bait)
  4. Orang yang dalam tanggunan dari orang yang berzakat (misalnya anak dan isteri)
  5. Menciptakan Ketenangan
Zakat dapat memberikan ketenangan dan ketentraman, bukan hanya kepada penerima, yang memberikan zakat pun juga merasakannya. Rasa dengki dan iri hati dapat timbul dari mereka yang hidup dalam kekurangan ketika mereka melihat orang-orang dengan harta melimpah dan bersikap acuh pada mereka yang hidupnya serba kekurangan. Rasa dengki tersebut dapat menimbulkan rasa permusuhan yang pada akhirnya bisa mengakibatkan keresahan bagi para pemilik harta tersebut dan membuat perasaan tegang dan cemas.
Pengertian Infak
Infak dari akar kata : Nafaqa (Nun, Fa’, dan Qaf), yang mempunyai arti keluar. Dari akar kata inilah muncul istilah Nifaq-Munafiq, yang mempunyai arti orang yang keluar dari ajaran Islam.
Kata (infaq), yang huruf akhirnya mestinya “Qaf”, oleh orang Indonesia dirubah menjadi huruf “ Kaf ”, sehingga menjadi (infak).   
Maka, Infaq juga bisa diartikan mengeluarkan sesuatu (harta) untuk suatu kepentingan yang baik, maupun kepentingan yang buruk. Ini sesuai dengan firman Allah yang menyebutkan bahwa orang-orang kafirpun meng "infak" kan harta mereka untuk menghalangi jalan Allah :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan” (Qs. Al Anfal : 36)
Sedangkan Infak secara istilah adalah : Mengeluarkan sebagian harta untuk sesuatu kepentingan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala, seperti :
menginfakkan harta untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Infak sering digunakan oleh Al Qur'an dan Hadits untuk beberapa hal, diantaranya :
Pertama : Untuk menunjukkan harta yang wajib dikeluarkan, yaitu zakat. Infak dalam pengertian ini  berarti zakat wajib.
Kedua : Untuk menunjukkan harta yang wajib dikeluarkan selain zakat, seperti kewajiban seorang suami memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Kata infak disini berubah menjadi nafkah atau nafaqah.
Ketiga : Untuk menunjukkan harta yang dianjurkan untuk dikeluarkan, tetapi tidak sampai derajat wajib, seperti memberi uang untuk fakir miskin, menyumbang untuk pembangunan masjid atau menolong orang yang terkena musibah. Mengeluarkan harta untuk keperluan-keperluan di atas disebut juga dengan infak.
Biasanya infak ini berkaitan dengan pemberian yang bersifat materi. 
Pengertian Sedekah.
Sedangkan  “Sedekah“  secara bahasa berasal dari akar kata (shodaqa) yang terdiri dari tiga huruf : Shod- dal- qaf, berarti sesuatu yang benar atau jujur. Kemudian orang Indonesia merubahnya menjadi Sedekah.
Sedekah bisa diartikan mengeluarkan harta di jalan Allah, sebagai bukti kejujuran atau kebenaran iman seseorang. Maka Rasulullah menyebut sedekah sebagai burhan (bukti), sebagaimana sabdanya :
وعن أبي مالكٍ الحارث بن عاصم الأشعريِّ - رضي الله عنه - ، قَالَ : قَالَ رسولُ الله - صلى الله عليه وسلم - : الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمان ، والحَمدُ لله تَمْلأُ الميزَانَ ، وَسُبْحَانَ الله والحَمدُ لله تَملآن - أَوْ تَمْلأُ - مَا بَينَ السَّماوات وَالأَرْضِ، والصَّلاةُ نُورٌ ، والصَّدقةُ بُرهَانٌ ، والصَّبْرُ ضِياءٌ ، والقُرْآنُ حُجةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ .كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائعٌ نَفسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُها  رواه مسلم
Dari Abu Malik  Al harits Bin Ashim Al as'ariy ra.. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Suci adalah sebagian dari iman, membaca alhamdulillah dapat memenuhi timbangan, Subhanallah dan Alhamdulillah dapat memenuhi semua yang ada diantara langit dan bumi, salat adalah cahaya, sedekah itu adalah bukti iman, sabar adalah pelita dan AlQuran untuk berhujjah terhadap yang kamu sukai ataupun terhadap yang tidak kamu sukai. Semua orang pada waktu pagi menjual dirinya, kemudian ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang membinasakan dirinya.” (HR. Muslim).
Sedekah bisa diartikan juga dengan mengeluarkan harta yang tidak wajib di jalan Allah. Tetapi kadang diartikan sebagai bantuan yang non materi, atau ibadah-ibadah fisik non materi, seperti menolong orang lain dengan  tenaga dan pikirannya, mengajarkan ilmu, bertasbih, berdzikir, bahkan  melakukan hubungan suami istri, disebut juga sedekah.  Ini sesuai dengan hadits :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه أنَّ ناساً قالوا : يَا رَسُولَ الله ، ذَهَبَ أهلُ الدُّثُور بالأُجُورِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي ، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ ، وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أمْوَالِهِمْ ، قَالَ : أَوَلَيسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُونَ بِهِ : إنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقةً ، وَكُلِّ تَكبيرَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَحمِيدَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً ، وَأمْرٌ بالمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وفي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ  قالوا : يَا رسولَ اللهِ ، أيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أجْرٌ ؟ قَالَ : أرَأيتُمْ لَوْ وَضَعَهَا في حَرامٍ أَكَانَ عَلَيهِ وِزرٌ ؟ فكذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا في الحَلالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ رواه مسلم
Dari Abu Dzar radhiallahu 'anhu : Sesungguhnya sebagian dari para sahabat berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi bersabda : “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershadaqah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shadaqah, tiap-tiap tahmid adalah shadaqah, tiap-tiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shadaqah“. Mereka bertanya : “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim)
Hadiah

Hadiah atau hibah atau kado adalah pemberian uang, barang, jasa dll yang dilakukan tanpa ada kompensasi balik seperti yang terjadi dalam perdagangan, walaupun dimungkinkan pemberi hadiah mengharapkan adanya imbal balik, ataupun dalam bentuk nama baik (prestise) atau kekuasaan. Dalam hubungan manusia, tindakan pertukaran hadiah berperan dalam meningkatkan kedekatan sosial.

Istilah hadiah dapat juga dikembangkan untuk menjelaskan apa saja yang membuat orang lain merasa lebih bahagia atau berkurang kesedihannya, terutama sebagai kebaikan, termasuk memaafkan (walaupun orang lain yang diberi tidak baik).

Kesimpulan
Zakat kalau disebut dalam al-Qur’an dan Hadist berarti zakat wajib yang dikenal kaum muslimin sebagai rukun Islam ketiga. Sedangkan Infaq kadang dipakai untuk menyebut infaq wajib (zakat), kadang dipakai untuk menyebut infaq wajib selain zakat (nafkah keluarga). Kadang dipakai untuk menyebut  infaq yang tidak wajib. Begitu juga Sedekah, kadang berarti zakat wajib, kadang untuk sesuatu yang tidak wajib. Wallahu A’lam
Beberapa Contoh Hasil Zakat Pertanian
1. Apakah Hasil Panen Dikurangi Dulu Dengan Biaya Produksi?

Jumhur ulama dalam menjelaskan teknis penghitungan zakat hasil panen, umumnya tidak mengenal pengurangan atau pemotongan nilai hasil panen. Berapapun berat timbangan hasil panen itu, maka dari total hasil timbangan panen itulah  dikeluarkan zakatnya sekian persen.

Kalau ada pengurangan atau pemotongan, yang 'dimainkan' adalah angka prosentase zakatnya. Kita mengenal angka 5% dan 10%, yang dibedakan berdasarkan apakah tanaman itu diairi atau tidak diairi.

Selain itu yang juga dapat 'dimainkan' adalah apakah hasil panen itu dihitung ketika masih ada kulitnya atau harus dikuliti (dikupas) terlebih dahulu.

Tetapi biaya produksi tidak pernah dijadikan faktor pengurang kewajiban zakat. Kalaupun ada yang mencoba-coba melakukannya, perlu diketahui bahwa hal itu lebih merupakan ijtihad segelintir kalangan, khususnya di masa modern ini. 

Sedangkan bila kita merujuk apa yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama di masa lalu, maka kita tidak menemukan pendapat untuk memotong hasil panen dengan biaya produksi.
Kalau panen 1 ton, maka zakatnya adalah 5% atau 10% dari 1 ton itu, tidak perlu hasil 1 ton itu dikurangi dulu dengan modal atau biaya produksi. Sebab yang dizakati bukan uang hasil penjualan panen, melainkan buah atau bulir dari hasil panen langsung. 

Dalam kenyataannya, 5% atau 10% hasil panen yang dizakati itu pun tidak berbentuk uang, melainkan berbentuk hasil panen itu sendiri. Jadi bentuk zakat 1 ton (1.000 kg) kurma adalah 50 Kg atau 100 Kg kurma. Kalau setelah itu mau diuangkan atau dikonversi, lain urusan.

2. Yang Masih Segar Atau Yang Sudah Dikuliti/Dikeringkan

Faktor pengurang yang kedua, kalau boleh disebut demikian, terletak pada perbedaan sebagian ulama, tentang apakah hasil panen itu harus dikupas atau dikuliti terlebih dahulu atau tidak.

Memang ada dua versi cara penghitungan batas nishab atas hasil panen tanaman ini yang berbeda dalam pandangan para ulama. 

a. Versi Pertama : Dikuliti dan Dikeringkan Terlebih Dahulu Baru Ditimbang

Versi pertama menurut sebagian ulama, bahwa hasil panen itu harus dikuliti atau dikeringkan terlebih dahulu, baru ditimbang untuk diketahui apakah jumlah hasil panen itu memenuhi nishab atau tidak. 

Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah disebutkan bahwa angka nishab di atas dihitung dalam keadaan sudah terkupas, sehingga kulit dari masing-masing hasil panen itu tidak dihitung. Istilahnya adalah la qisyra ’alaiha (لا قشر عليها).

Mazhab Al-Hanabilah juga mengatakan bahwa bahwa berat 5 wasaq itu adalah berat bulir panenan yang sudah dikupas. Jadi itu bukan berat gabah melainkan berat padinya.
Begitu juga bila bentuknya buah yang wajib dizakati seperti kurma, yang ditimbang adalah yang sudah kering, bukan yang masih basah.

Dengan versi dikuliti atau dikeringkan ini, maka nilai nishabnya adalah 520 kg dan bukan 653 Kg. 

Maka dalam versi pertama ini, yang dizakatkan bukan padi atau gabah, melainkan beras. Bila panennya kurma, yang dihitung bukan beratnya ruthab atau kurma yang masih segar, tetapi kurma yang sudah dikeringkan. 
Sekedar untuk diketahui bahwa kurma yang kita kenal sehari-hari di negeri kita bukanlah buah kurma segar yang masih banyak mengandung air, tetapi buah kurma yang sudah dikeringkan. 

b. Versi kedua : Ditimbang Apa Adanya

Versi Kedua adalah pendapat yang menyebutkan bahwa yang ditimbang adalah hasil panen asli, tanpa harus dikeringkan terlebih dahulu atau dikuliti. Dan batas nishabnya adalah 653 Kg.
Mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa ukuran 5 wasaq itu ditimbang dengan kulit-kulitnya kalau bulir padi atau gandum, dan ditimbang ketika masih basah kalau buah-buahan.

3. Besarnya Zakat : 5% atau 10% ?

Adapun tentang besarnya nilai zakat yang harus dikeluarkan dari tanaman telah disepakati oleh para ulama, yaitu usyur (1/10) dan nishful ushr (1/120). Dalam bentuk prosentase berarti 10% dan 5 %. Dasarnya adalah hadits berikut ini :

فِيْمَا سَقَتِ الأَنْهَارُ وَالغَيْمُ العُشُر وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ نِصْفُ العُشُر

Dari Jabir bin Abdilah ra dari Nabi SAW,"Tanaman yang disirami oleh sungai dan mendung (hujan) zakatnya sepersepuluh. Sedangkan yang disirami dengan ats-tsaniyah zakatnya setengah dari sepersepuluh (1/20). (HR. Ahmad, Muslim, An-Nasai dan Abu Daud)

فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ

Tanaman yang disirami langit dan mata air atau atau mengisap air dengan akarnya, zakatnya sepersepuluh. Sedangkan tanaman yang disirami zakatnya adalah setengah dari sepersepuluh (1/20). (HR Bukhari)

Dari hadits-hadits tersebut, nampak Rasulullah SAW membagi dua kadar zakat yang wajib dikeluarkan sesuai dengan cara pengairannya sebagai berikut :

a. Sepersepuluh (10%)
Yang termasuk zakatnya sepersepuluh adalah tanaman yang diairi tanpa alat pengangkut air dan beban biaya yang besar. Jenis ini meliputi tiga hal :

  • Pertama : Tanaman yang diairi dengan air hujan (tadah hujan).
  • Kedua : Tanaman yang diairi dengan air sungai atau mata air secara langsung, tanpa butuh biaya dan alat untuk mengangkutnya. Meskipun pada awalnya seseorang butuh untuk membuat saluran di tanah sebagai tempat aliran air sungai itu ke areal tanamannya di mana hal ini butuh sedikit biaya, namun setelahnya air mengalir ke tanaman secara langsung dan tidak butuh untuk diangkut dengan alat dan biaya yang besar.
  • Ketiga : Tanaman yang mengisap air dengan akar-akarnya, karena ditanam di tanah yang permukaannya dekat dari air atau ditanam di dekat sungai, sehingga akar-akarnya mencapai air dan mengisapnya.
b. Seperduapuluh (5%)

Tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya sebesar seperduapuluh dari seluruh hasil tanaman yang ada, yaitu tanaman yang diairi dengan bantuan alat pengangkut air dan beban biaya yang besar. Jenis ini meliputi beberapa hal :

  • Pertama : Tanaman yang diairi dengan bantuan unta atau sapi atau kerbau untuk mengangkutnya, sebagaimana pada hadits Ibnu ‘Umar dalam Shahih Al-Bukhari dan hadits Jabir radhiyallahuanhuma dalam Shahih Muslim.
  • Kedua :Tanaman yang diairi dengan bantuan alat timba, sebagaimana pada hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahuanhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Sunan Al-Baihaqi.
  • Ketiga : Tanaman yang diairi dengan bantuan alat kincir air atau mesin air. Ibnu Qudamah berpendapat bahwa jika air sungai mengalir melalui saluran air menuju suatu tempat yang jaraknya dekat dari tanaman dan tertampung di tempat itu, 
Kemudian air tersebut harus diangkut ke tanaman dengan bantuan timba atau kincir air, maka hal ini merupakan beban biaya yang menggugurkan setengah kadar zakat yang wajib dikeluarkan (dari sepersepuluh menjadi seperdua puluh).
Karena perbedaan besar kecilnya biaya serta jauh dekatnya air yang diangkut tidak berpengaruh, kriterianya adalah butuhnya air itu untuk diangkut ke tanaman dengan bantuan alat berupa timba, binatang, kincir, dan semacamnya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat., Lc., MA

Zakat Harta Karun dan Bahan Tambang


zakat rikaz (harta karun) dan zakat ma’dan (pada barang tambang). Berapa besaran zakatnya, besar nishob dan berlakukah haul dalam zakat ini, nanti akan diulas secara sederhana dalam tulisan kali ini. Juga akan disinggung mengenai zakat pada hasil undian. Karena sebagian orang mewajibkannya dan menganalogikan dengan zakat harta karun.
Rikaz secara bahasa berarti sesuatu yang terpendam di dalam bumi berupa barang tambang atau harta.
Secara syar’i, rikaz berarti harta zaman jahiliyah berasal dari non muslim yang terpendam yang diambil dengan tidak disengaja tanpa bersusah diri untuk menggali, baik yang terpendam berupa emas, perak atau harta lainnya.
Sedangkan ma’dan berarti menetap atau diam.
Sedangkan secara syar’i yang dimaksud ma’dan adalah segala sesuatu yang berasal dari dalam bumi dan mempunyai nilai berharga. Ma’dan atau barang tambang di sini bisa jadi berupa padatan seperti emas, perak, besi, tembaga, timbal atau berupa zat cair seperti minyak bumi dan aspal.[1]
Demikian jumhur (mayoritas) ulama membedakan antara rikaz dan ma’dan, berbeda dengan ulama Hanafiyah. Sebagaimana dalam hadits dibedakan antara rikaz dan ma’dan,
وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ، وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
Barang tambang (ma’dan) adalah harta yang terbuang-buang dan harta karun (rikaz) dizakati sebesar 1/5 (20%).[2]
Dalil wajibnya zakat rikaz dan ma’dan
Firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu (QS. Al Baqarah: 267).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ، وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
Barang tambang (ma’dan) adalah harta yang terbuang-buang dan harta karun (rikaz) dizakati sebesar 1/5 (20%).[3]
Membedakan harta yang ditemukan di dalam bumi[4]
Harta yang ditemukan dalam bumi dapat dibagi menjadi menjadi tiga:
1. Harta yang memiliki tanda-tanda kaum kafir (non muslim) dan harta tersebut terbukti berasal masa jahiliyah (sebelum Islam) disebut rikaz.
2. Harta yang tidak memiliki tanda-tanda yang kembali ke masa jahiliyah, maka dapat dibagi dua:
a. Jika ditemukan di tanah bertuan atau jalan bertuan disebut luqothoh (barang temuan).
b. Jika ditemukan di tanah tidak bertuan atau jalan tidak bertuan disebut kanzun (harta terpendam).
3. Harta yang berasal dari dalam bumi disebut ma’dan (barang tambang).
Macam-macam harta di atas memiliki hukum masing-masing.
Apa yang dilakukan terhadap barang temuan yang terpendam?[5]
Harta terpendam tidak terlepas dari lima keadaan, yaitu:
1. Ditemukan di tanah tak bertuan
Seperti ini menjadi milik orang yang menemukan. Nantinya ia akan mengeluarkan zakat sebesar 20% dan sisa 80% jadi miliknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai seseorang yang menemukan harta terpendam,
إن كنت وجدته في قرية مسكونة ، أو في سبيل ميتاء ، فعرفه ، وإن كنت وجدته في خربة جاهلية ، أو في قرية غير مسكونة ، أو غير سبيل ميتاء ، ففيه وفي الركاز الخمس
Jika engkau menemukan harta terpendam tadi di negeri berpenduduk atau di jalan bertuan, maka umumkanlah (layaknya luqothoh atau barang temuan, pen). Sedankan jika engkau menemukannya di tanah yang menunjukkan harta tersebut berasal dari masa jahiliyah (sebelum Islam) atau ditemukan di tempat yang tidak ditinggali manusia (tanah tak bertuan) atau di jalan tak bertuan, maka ada kewajiban zakat rikaz sebesar 20%.[6]
2. Ditemukan di jalan atau negeri yang berpenduduk
Seperti ini diperintahkan untuk mengumumkannya sebagaimana barang temuan (luqothoh). Jika datang pemiliknya, maka itu jadi miliknya. Jika tidak, maka menjadi milik orang yang menemukan sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya.
3. Ditemukan di tanah milik orang lain
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
a. Tetap jadi milik si pemilik tanah. Demikian pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Al Hasan, qiyas dari perkataan Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
b. Menjadi milik orang yang menemukan. Inilah pendapat yang lain dari Imam Ahmad dan Abu Yusuf. Mereka berkata bahwa yang namanya harta terpendam bukanlah jadi milik si empunya tanah, namun menjadi milik siapa saja yang menemukan.
c. Dibedakan, yaitu jika pemilik tanah mengenai harta tersebut, maka itu jadi miliknya. Jika si pemilik tanah di mengenalnya, harta tersebut menjadi milik si pemilik tanah pertama kali. Demikian dalam madzhab Syafi’i.
4. Ditemukan di tanah yang telah berpindah kepemilikan dengan jalan jual beli atau semacamnya
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
a. Harta seperti ini menjadi milik yang menemukan di tanah miliknya saat ini. Demikian pendapat Malik, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad selama pemilik pertama tanah tersebut tidak mengklaimnya.
b. Harta tersebut menjadi milik pemilik tanah sebelumnya jika ia mengenal harta tersebut. Jika tidak dikenal, maka menjadi pemilik tanah sebelumnya lagi, dan begitu seterusnya. Jika tidak di antara pemilik tanah sebelumnya yang mengenalnya, maka perlakuannya seperti luqothoh (barang temuan).
5. Jika ditemukan di negeri kafir harbi (orang kafir yang boleh diperangi)
Jika ditemukan dengan cara orang kafir dikalahkan (dalam perang), maka status harta yang terpendam tadi menjadi ghonimah (harta rampasan perang).
Jika harta tersebut mampu dikuasai dengan sendirinya tanpa pertolongan seorang pun, maka ada dua pendapat:
a. Harta tersebut menjadi milik orang yang menemukan. Demikian pendapat dalam madzhab Ahmad, mereka qiyaskan dengan harta yang ditemukan di tanah tak bertuan.
b. Jika harta tersebut dikenal oleh orang yang memiliki tanah tersebut yaitu orang kafir harbi dan ia ngotot mempertahankannya, maka status harta tersebut adalah ghonimah. Jika tidak dikenal dan tidak ngotot dipertahankan, maka statusnya seperti rikaz (harta karun). Demikian pendapat Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i, masing-masing mereka memiliki rincian dalam masalah ini.
Nishob dan haul dalam zakat rikaz
Tidak dipersyaratkan nishob dan haul dalam zakat rikaz. Sudah ada kewajiban zakat ketika harta tersebut ditemukan. Besar zakatnya adalah 20% atau 1/5. Demikian makna tekstual dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
Zakat rikaz sebesar 20%”.[7] Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).[8]
Di mana disalurkan zakat rikaz?
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa rikaz disalurkan pada orang yang berhak menerima zakat. Demikian pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Dan Imam Ahmad berkata, “Jika hanya diberikan rikaz tersebut kepada orang miskin, maka sah.”
Pendapat kedua menyatakan bahwa rikaz disalurkan untuk orang yang berhak menerima fai’ (harta milik kaum muslimin yang diperoleh dari orang kafir tanpa melakukan peperangan).
Kedua pendapat ini berasal dari dalil yang lemah. Oleh karena itu yang tepat dalam masalah ini adalah dikembalikan kepada keputusan penguasa. Demikian pendapat Abu ‘Ubaid dalam Al Amwal.[9]
Zakat Barang Tambang
Apakah barang tambang termasuk dalam zakat rikaz? Masalah ini terdapat dua pendapat:
Pertama: Barang tambang yang terkena kewajiban adalah seluruh barang tambang baik emas, perak, tembaga, besi, timbal, minyak bumi. Barang tambang ini termasuk rikaz yang terkena kewajiban untuk dikeluarkan sebagian darinya dan masih diperselisihkan berapa persen yang dikeluarkan. Intinya, ada kewajiban untuk dikeluarkan dari barang tambang berdasarkan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu
” (QS. Al Baqarah: 267). Demikian pendapat jumhur ulama yang mewajibkan zakat pada seluruh barang tambang.

Kedua: Barang tambang yang terkena kewajiban hanyalah emas dan perak. Demikian salah satu pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang kedua. Alasan ulama Syafi’iyah sebagaimana dikemukakan oleh An Nawawi, “Dalil kami adalah karena tidak adanya dalil yang menunjukkan wajibnya. Sedangkan untuk barang tambang emas dan perak ada kewajiban zakat sebagaimana ada ijma’ (kata sepakat ulama) dalam hal ini. Oleh karena itu tidak ada kewajiban zakat pada barang tambang lainnya.”[10]
Pendapat terakhir ini lebih dicenderungi. Jika pendapat ini yang dipilih, maka barang tambang baru dikenai zakat setelah mencapai nishob emas dan perak.
Waktu dan Kadar wajib zakat barang tambang
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban zakat barang tambang adalah 1/40 atau 2,5%. Hal ini diqiyaskan dengan emas dan perak. Untuk emas, sebesar 20 dinar atau 85 gram emas murni. Untuk perak, sebesar 20 dirham atau 595 gram perak murni. Dan zakat tersebut dikeluarkan ketika ditemukan (saat itu juga) dan tidak ada hitungan haul.[11]
Adakah zakat hasil undian?
Sebagian orang menetapkan bahwa zakat undian atau “rezeki nomplok” sama dengan zakat rikaz yaitu dikeluarkan 20%. Ini jelas keliru karena mewajibkan sesuatu yang tidak wajib.
Zakat rikaz sebagaimana diterangkan di atas adalah bagi harta zaman jahiliyah (non muslim) yang terpendam dan ditemukan. Hasil undian tentu tidak demikian. Adapun harta temuan yang itu menjadi milik masyarakat muslim atau sejarahnya kembali ke zaman Islam, maka tidak disebut rikaz, akan tetapi masuk luqothoh (barang temuan). Dan dalam kitab-kitab fiqih di setiap mazhab telah dibedakan antara rikaz dari luqothoh. Status luqothoh adalah tetap milik pemilik yang sebenarnya dan asalnya bukan milik penemunya. Barang temuan semacam  ini diumumkan selama satu tahun. Jika ada pemiliknya maka diserahkan, sedangkan jika tidak maka boleh diambil oleh orang yang memungutnya.
Semoga bermanfaat, semoga Allah senantiasa memberikan kita keistiqomahan dalam menuntut ilmu, beramal sholih dan berdakwah.
 @ Ummul Hamam, selepas shalat Shubuh di hari Jum’at penuh barokah, 4 Rajab 1433 H


Makna Nisab

Makna nishab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah,

“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.”(Qs. Al Baqarah: 219)

Makna al afwu (dalam ayat tersebut-red), adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang.
Syarat-syarat nishab adalah sebagai berikut :

1. Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al AlBani)

Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil ketika menemukannya.

Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan zakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut.

Nishab, Ukuran dan Cara Mengeluarkan Zakatnya

1. Nishab emas
Nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar Islam.
1 dinar = 4,25 gr emas
Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni.

Dalil nishab ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat ½ dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu haul.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)

Dari nishab tersebut, diambil 2,5% atau 1/40. Dan jika lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab awal. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.

Contoh:

Seseorang memiliki 87 gr emas yang disimpan. Maka, jika telah sampai haulnya, wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 x 87gr = 2,175 gr atau uang seharga tersebut.

2. Nishab perak
Nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.

3. Nishab binatang ternak
Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.
“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor…” (HR. Bukhari)
Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:
a. Onta
Nishab onta adalah 5 ekor.
Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci -red.
b. Sapi
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Sapi
Jumlah yang dikeluarkan
30-39 ekor
1 ekor tabi’ atau tabi’ah
40-59 ekor
1 ekor musinah
60 ekor
2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah
70 ekor
1 ekor tabi dan 1 ekor musinnah
80 ekor
2 ekor musinnah
90 ekor
3 ekor tabi’
100 ekor
2 ekor tabi’ dan 1 ekor musinnah
Keterangan:
  1. Tabi’ dan tabi’ah adalah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
  2. Musinnah adalah sapi betina yang berusia 2 tahun.
  3. Setiap 30 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor musinnah.
c. Kambing
Nishab kambing adalah 40 ekor. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Kambing
Jumlah yang dikeluarkan
40 ekor
1 ekor kambing
120 ekor
2 ekor kambing
201 – 300 ekor
3 ekor kambing
> 300 ekor
setiap 100, 1 ekor kambing

4. Nishab hasil pertanian
Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-An’am: 141)

Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Satu wasaq setara dengan 60 sha’ (menurut kesepakatan ulama, silakan lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/364). Sedangkan 1 sha’ setara dengan 2,175 kg atau 3 kg. Demikian menurut takaaran Lajnah Daimah li Al Fatwa wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan ketentuan resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian adalah 300 sha’ x 3 kg = 900 kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).” (HR. Muslim 2/673)
Misalnya: Seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) adalah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg
5. Nishab barang dagangan
Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.

Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan 3 syarat lainnya:
1) Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah, dan yang sejenisnya.
2) Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
3) Nilainya telah sampai nishab.
Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.
Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:
Modal – Hutang:
Rp. 200.000.000 – Rp. 100.000.000 = Rp. 100.000.000
Jadi jumlah harta zakat adalah:
Rp. 100.000.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 150.000.000
Zakat yang harus dibayarkan:
Rp. 150.000.000 x 2,5 % = Rp. 3.750.000

6. Nishab harta karun
Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dalam harta temuan terdapat seperlima (1/5) zakatnya.” (HR. Muttafaqun alaihi)

Cara Menghitung Nishab

Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?
Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Syafi’i), mazhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya – dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.” (Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468). Inilah pendapat yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga) hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkannya zakatnya. Demikian tulisan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat.

***
Diringkas dari tulisan: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan ulang oleh www.muslim.or.id